Update Terbaru

6/recent/ticker-posts

PERKEMBANGAN PAEDAGOGIK ANAK PRA SEKOLAH



BAB I
PENDAHULUAN
1.1              Latar Belakang
Masa usia dini adalah periode penting yang memberikan pengalaman awal dalam rentang kehidupan manusia. Pengalaman awal yang diperoleh anak pada masa tersebut  akanmempengaruhi sikap, perasaan, pikiran dan perilaku anak pada tahap selanjutnya. Pelatihandan pengkondisian yang diberikan pada anak secara berkelanjutan akan membantu  anak mencapai berbagai tugas perkembangannya secara optimal.
Anak usia prasekolah merupakan perkembangan individu yang terjadi sekitar usia 2-6 tahun, pada usia ini anak berusaha mengendalikan lingkungan dan mulai belajar menyesuaikan diri secara rasional.
Usia ini juga sering disebut dengan masa pancaroba, karena pada umumnya anak pada masa ini dorongan keingintahuannnya sangat kuat. Diantara perkembangan-perkembangan yang terjadi pada usia ini antara lain perkembangan fisik, intelektual, emosional dan lain-lain.
Pada makalah ini penulis akan mencoba memaparkan perkembangan paedagogik anak pra sekolah yang berkaitan dengan perkembangan kognitif anak pra sekolah.
1.2              Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan anak pra sekolah?
2.      Bagaimaa perkembangan paedagogik anak pra sekolah?
1.3              Tujuan
1.      Untuk mengetahui pengertian anak pra sekolah.
2.      Untuk mengetahui perkembangan paedagogik anak pra sekolah.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1       Pengertian Anak Pra Sekolah
Dalam memberikan pengertian anak prasekolah dari segi umur para ahli mengalami kesulitan karena dalam menghubungkan antara batasan umur dan kecakapan anak dapat dipengaruhi banyak faktor. Dengan demikian banyak ahli yang berbeda pendapat untuk memberikan batasan umur anak prasekolah.
Biechler dan Snowman berpendapat bahwa yang dimaksud dengan anak prasekolah adalah anak yang biasannya mengikuti program prasekolah dan kindergarden. Sedangkan menurut E.B Hurlock mengatakan bahwa usia prasekolah atau prakelompok disebut juga masa kanak-kanak dini yaitu anak yang berumur 2-6 tahun, Biechler dan Snowman menambahkan bahwa usia prasekolah adalah anak mulai usia 3-6 tahun. Walaupun ada beberapa perbedaan dalam memberi batasan umur anak prasekolah, namun dapat diambil kesimpulan bahwa pengertian anak prasekolah adalah anak-anak di bawah usia sekolah atau anak-anak yang belum memasuki usia sekolah.[1]
2.2       Perkembangan Paedagogik Anak Pra Sekolah
Oleh karena paedagogik sangat berkaitan dengan memberikan pengajaran, araha dan bimbingan yang berpengaruh pada perubahan kognitif anak, maka dalam pembahasan kali ini penuis memfokuskan masalah pada perkembangan kognitif yang dialami anak pra sekolah.
Menurut pakar terkemuka dalam disiplin psikologi kognitif dan psikologi anak, Jean Peaget mengklasifikasikan perkembangan kognitif anak menjadi empat tahapan:
1)      Tahap sensory motor (0-2 tahun)
2)      Tahap pra-oprasional (2-7 tahun)
3)      Tahap konkret oprasional (7-11 tahun)
4)      Tahap formal oprasional (11-15 tahun)[2]
Dari ke-empat tahapan diatas, maka sesuai judul yang akan kita bahas berada pada tahapan ke dua yaitu masa pra-oprasional yang terjadi antara usia 2-7 tahun.
Pada periode ini, anak telah memiliki pengusaan sempurna mengenai suatu objek. Artinya anak sudah memiliki kemampuan mengingat objek walaupun sudah tidak di lihat atau di dengarnya lagi. Perolehan kemampuan berupa kesadaran terhadap eksistensi adalah hasil dari munculnya kepastian kognitif baru yang disebut representation (gambaran mental). Representasi mental merupakan bagian penting dari skema kognitif yang memungkinkan anak berfikir dan menyimpulkan eksistensi sebuah benda atau kejadian tertentu walaupun benda atau kejadian itu berada diluar pandangan, pendengaran atau jangkauan tangannya.
Representasi mental juga memungkinkan anak untuk mengembangkan deferred-imitation (peniruan yang tertunda) yakni kapasitas meniru prilaku orang lain yang sebelumnya pernah ia lihat untuk merespon lingkungan. Prilaku-prilaku yang ditiru terutama prilaku-prilaku orang lain (khususnya orangtua dan guru) yang pernah ia lihat ketika orang itu merespon barang, orang, keadaan, dan kejadian yang dihadapi pada masa lampau.[3]
Selain itu pada masa ini muncul juga gejala insight-learning, yakni gejala belajar berdasarkan tilikan akal. Dalam hal ini anak mulai mampu melihat situasi problematik, yakni memahami bahwa sebuah keadaan mengundang masalah, lalu berpikir sesaat. Setelah berfikir ia memperoleh reksi “aha” yaitu pemahaman atau ilham spontan untuk memecahkan masalah versi anak-anak. Dengan reaksi “ahaa” kemudian masalah tadi ia pecahkan.
Selain itu pada periode ini yang juga sangat penting adalah diperolehnya kemampuan berbahasa. Dalam periode ini anak mulai mampu menggunakan kata-kata yang benar dan mampu pula mengekspresikan kalimat-kalimat pendek tetapi efektif.
Sehubungan dengan penggunaan skema kognitif anak pada periode ini yang masih terbatas ialah bahwa pengamatan dan pemahaman anak terhadap situasi lingkungan yang ia tanggapi sangat dipengaruhi oleh watak egosentrisme. Maksudnya anak tersebut belum bisa memahami pandangan-pandagan orang lain yang berbeda dengan pandangan sendiri. Gejala egosentrisme ini disebabkan oleh masih terbatasnya conservation (konservasi/pengekalan), yakni oprasi kognitif yang berhubungan dengan pemahaman anak terhadap aspek dan dimensi kuantitatif materi lingkungan yang ia respon.[4]
Dalam referens lain disebutkan bahwa ciri-ciri perkembangan kognitif anak pra sekolah adalah:
1)      Anak pra sekolah pada umumnya terampil dalam berbahasa. Sebagian dari mereka senang berbicara, khusunya dalam kelompoknya sebaiknya anak diberi kesempatan untuk berbicara, sebagian dari mereka dilatih untuk menjadi pendengar yang baik.
2)      Kompetensi anak perlu dikembangkan melalui interaksi, minat, kesempatan, mengagumi, dan kasih sayang.[5]
Sebagai tambahan penulis akan sedikit menguraikan tentang salah satu model pembelajaran yang perlu diketahui pada anak pra sekolah.
Model pembelajaran Montessori mempunyai landasan pemikiran bahwa bahwa dalam tahun-tahun awal seorang anak mempunyai “sensitive periods” (masa peka). Masa peka dapat digambarkan sebagai sebuah pembawaan atau potensi yang akan berkembang sangat pesat pada waktu-waktu tertentu. Potensi ini akan mati dan tidak akan muncul lagi apabila tidak diberikan kesempatan untuk berkembang, tepat pada waktunya. Montessori memberikan panduan periode sensitif atau masa peka ini dalam sembilan tahapan sebagai berikut:
Lahir – 3 tahun                        Masa penyerapan toral (absorbed mind), perkenalan dan pengalaman sensoris/ panca indera.
1, 5 - 3 tahun                           Perkembangan bahasa
1, 5 - 4 tahun              Perkembangan dan koordinasi antara mata dan ototototnya. Perhatian pada benda-benda kecil.
2 - 4 tahun                               Perkembangan dan penyempurnaan gerakangerakan. Perhatian yang besar pada hal-hal yang nyata. Mulai menyadari urutan waktu dan ruang
2, 5 - 6 tahun                           Penyempurnaan penggunaan panca indera.
3 - 6 tahun                Peka terhadap pengaruh orang dewasa
3, 5 - 4, 5 tahun            Mulai mencorat-coret.
4 - 4, 5 tahun              Indera peraba mulai berkembang
4, 5 - 5, 5 tahun            Mulai tumbuh minat membaca
Dasar pendidikan model pembelajaran Montessori menekankan pada tiga hal, yaitu:
1)      Pendidikan sendiri (pedosentris)
Menurut Montessori, anak-anak memiliki kemampuan alamiah untuk berkembang sendiri. Anak-anak mempunyai hasrat alami untuk belajar dan bekerja, bersamaan dengan keinginan yang kuat untuk mendapatkan kesenangan. Selain itu, anak juga memiliki keinginan untuk mandiri. Keinginan untuk mandiri tersebut tidak muncul atas perintah dari orang dewasa melainkan muncul dari dalam diri anak sendiri. Dorongan-dorongan alamiah tersebut akan terpenuhi dengan memfasilitasi anak dengan aktivitas-aktivitas yang penuh kesibukan. Namun dalam kegiatan tersebut sebaiknya anak tidak dibantu melainkan harus berlatih sendiri.
2)      Masa Peka
Masa peka merupakan masa yang sangat penting dalam perkembangan seorang anak. Ketika masa peka datang, maka anak harus segera difasilitasi dengan alatalat permainan yang mendukung aktualisasi potensi yang dimiliki. Guru memiliki kewajiban untuk mengobservasi munculnya masa peka dalam diri anak agak dapat memberikan tindakan yang tepat sesuai dengan kondisi anak.
3)      Kebebasan
Model pembelajaran Montessori memberikan kebebasan kepada anak untuk berpikir, berkarya dan menghasilkan sesuatu. Hal ini dkarenakan masa peka anak tidak dapat diketahui kapan kepastian kemunculannya. Kebebasan ini bertujuan agar anak dapat mengaktualkan potensi anak sebebas-bebasnya. Model pembelajaran Montessori memfokuskan pada pengembangan aspek motorik, sensorik dan bahasa. Penekanan utamanyaditempatkan melalui pengambangan alat-alat indera. Model pembelajaran Montessori membebaskan anak untuk bergerak, menyentuh, memanipulasi dan bereksplorasi secara bebas. Langkah pembelajaran dalam model pembelajaran Montessori terdiri dari tiga langkah, yaitu (1) langkah menunjukkan, (2) langkah mengenal, dan (3) langkah mengingat. Contoh: langkah menunjukkan: Seraya memperlihatkan kertas berwarna merah, guru mengakatan, “Ini merah!” begitu juga warna yang lainnya, langkah mengenal: guru mengacaukan kertas-kertas berwarna dan berkata kepada anak, “Ambillah merah!”, langkah mengingat: dari kertas-kertas berwarna yang telah dikacaukan, guru mengambil sehelai kertas dan bertanya, “Ini warna apa?”[6]


BAB III
PENUTUP
3.1  Kesimpulan
1.      Anak prasekolah adalah anak-anak di bawah usia sekolah atau anak-anak yang belum memasuki usia sekolah.
2.      Perkembangan paedagogik anak pra sekolah pada umumnya sudah terampil dalam berbahasa, mengingat, memiliki perhatian dan pengamatan juga rasa egosentrisme.


DAFTAR PUSTAKA
Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosada Karya, 2010)
Soemitra Patmonodewo, Pendidikan Anak Prasekolah (Jakarta: Rineka Cipta, 2000)
Sri Harini dan Aba Firdaus, Mendidik Anak Usia Dini, (Yogyakarta : Kreasi Wacana, 2003)
Supriyadi, dkk, Pendidikan Anak Usia Dini, (Jakarta: tp, 2013)



[1] Sri Harini dan Aba Firdaus, Mendidik Anak Usia Dini, (Yogyakarta : Kreasi Wacana, 2003), h. 54-55
[2] Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosada Karya, 2010), h. 66
[3] Ibid, h.69
[4] Ibid, h.70
[5] Soemitra Patmonodewo, Pendidikan Anak Prasekolah (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), h.31
[6] Supriyadi, dkk, Pendidikan Anak Usia Dini, (Jakarta: tp, 2013), h.30

Posting Komentar

0 Komentar