BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Kita
sering sekali mendengar teori dan praktek dalam dunia pendidikan. Perlu
diketahui bahwa teori dan praktek pendidikan tidak hanya dilandasi oleh ilmu
pendidikan itu saja, namun didasari juga oleh ilmu-ilmu lain, seperti filsafat,
Psikologi, Sosial dan Antropologi, dimana Filsafat berperan dalam menemukan
hakikat pendidikan yang sebenarnya, hakikat peserta didik dan arah kemana
mereka akan dikembangkan.
Oleh karena itu, bagi seorang calon
pendidik khususnya kita mahasiswa jurusan tarbiyah haraus mengetahui dan
memiliki bekal-bekal dasar yang terkait dengan hakikat segala yang ada dalam
pendidikan dan pemikiran pendidikan yang selama ini diwacanakan oleh para
filosof yang sesui dengan problematika yang sedang dihadapi oleh umat manusia.
Berdasarkan hal diatas maka dalam
makalah ini penulis akan membahas dua teori dalam filsafat pendidikan yang
nantinya akan menjadi tambahan pengetahuan bagi para calon pendidik.
1.2
Rumusan
Masalah
1. Apa
yang dimaksud dengan aliran esensialisme dan perenialisme?
2. Bagaimana
sejarah perkembangan aliran esensialisme dan perenialisme?
3. Bagaimana
pandangan aliran esensialisme dan perenialisme terhadap dunia pendidikan?
1.3
Tujuan
1. Untuk
mengetahui pengertian aliran esensialisme dan perenialisme.
2. Untuk
mengetahui sejarah perkembangan aliran esensialisme dan perenialisme.
3. Untuk
mengetahui pandangan aliran esensialisme dan perenialisme terhadap dunia
pendidikan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 ALIRAN
ESENSIALISME
A. Pengertian Aliran Esensialisme
Kata
esensialisme menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia terdapat dua kata, yaitu
“esensi” yang berarti “hakikat, inti, dasar” dan ditambahkan menjadi “esensial”
yang berarti “sangat perinsip, sangat berpengaruh, sangat perlu”.[1]
Esensialisme
dikenal sebagai gerakan pendidikan dan juga sebagai aliran filsafat pendidikan.
Esensialisme berusaha mencari dan mempertahankan hal-hal yang esensial, yaitu
sesuatu yang bersifat inti atau hakikat fundamental, atau unsur mutlak yang
menentukan keberadaan sesuatu. Menurut Esensialisme, yang esensial tersebut
harus diwariskan kepada generasi muda agar dapat bertahan dari waktu ke waktu
karenaitu Esensialisme tergolong tradisionalisme.[2]
B. Sejarah Perkembangan
Esensialisme
Esensialisme muncul pada zaman Renaissance dengan ciri-ciri
utama yang berbeda dengan progresivisme, yaitu yang tumbuh dan berkembang
disekitar abad 11, 12, 13 dan ke 14 Masehi. Pada zaman Renaissance itu telah
berkembang dengan megahnya usaha-usaha untuk menghidupkan kembali ilmu
pengetahuan dan kesenian serta kebudayaan purbakala, terutama dizaman Yunani
dan Romawi purbakala. Renaissance itu merupaka reaksi terhadapa tradisi dan
sebagai puncak timbulnya individualisme dalam berpikir dan bertindak dalam
semua cabang dari aktivitas manusia.
Gerakan esensialisme muncul pada awal tahun 1930
dengan beberapa orang pelopornya seperti William C. Bagley, Thomas Briggs,
Frederick Breed dan Isac L. Kandell. Pada tahun 1938 mereka membentuk suatu
lembaga yang disebut dengan “the essensialist committee for the advancement of
American Education” sementara Bagley sebagai pelopor esensialsme adalah seorang
guru besar pada “Teacher College” Colombia University. Bagley yakin bahwa
fungsi utama sekolah adalah mentransmiskan warisan budaya dan sejarah kepada
generasi muda.[3]
Bagley dan rekan-rekannya yang memiliki kesamaan
pemikiran dalam hal pendidikan sangat kritis terhadap praktek pendidikan
progresif. Mereka berpendapat bahwa pergerakan progresif telah merusak
standar-standar intelektual dan moral anak muda. Setelah perang dunia ke-2,
kritik terhadap pendidikan progresiv telah tersebar luas dan tampak merujuk
pada kesimpulan : sekolah gagal dalam tugas mereka mentransmisikan
warisan-warisan intelektual dan sosial. Esensialisme, yang memiliki beberapa
kesamaan dengan perenialisme, berpendapat bahwa kultur kita telah memiliki
suatu inti pengetahuan umum yang harus diberikan sekolah-sekolah kepada para
siswa dalam suatu cara yang sistematis dan berdisiplin. Aliran ini populer pada
tahun 1930 an dengan populernya Wiliam Bagley (1874-1946).[4]
Esensialisme yang berkembang pada zaman Renaissance
mempunyai tinjauan yang berbeda dengan progresivisme mengenai pendidikan dan
kebudayaan. Jika progresivisme menganggap pendidikan yang penuh fleksibelitas,
serba terbuka untuk perubahan, tidak ada keterkaitan dengan doktrin tertentu,
toleran dan nilai-nilai dapat berubah dan berkembang, maka aliran Esensialisme
ini memandang bahwa pendidikan yang bertumpu pada dasar pandangan fleksibilitas
dalam segala bentuk dapat menjadi sumber timbulnya pandangan yang berubah-ubah,
mudah goyah dan kurang terarah dan tidak menentu serta kurang stabil. Karenanya
pendidikan haruslah diatas pijakan nilai yang dapat mendatangkan kestabilan dan
telah teruji oleh waktu, tahan lama dan nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan
terseleksi. Nilai-nilai yang dapat memenuhi adalah yang berasal dari kebudayaan
dan filsafat yang korelatif, selama empat abad belakangan ini, dengan
perhitungan zaman Renaisans, sebagai pangkal timbulnya pandangan-pandangan
Esensialistis awal. Puncak refleksi dari gagasan ini adalah pada pertengahan
kedua abad ke sembilan belas.[5]
C. Pandangan Esensialisme
Terhadap Pendidikan
filsafat
pendidikan esensialisme yang disarikan oleh William C. Bagley memiliki
ciri-ciri sebagai berikut :
1)
minat-minat yang
kuat dan tahan lama sering tumbuh dari upaya-upaya belajar awal yang memikat
atau menarik perhatian bukan karena dorongan dari dalam diri siswa.
2)
pengawasan
pengarahan, dan bimbingan orang yang dewasa adalah melekat dalam masa balita
yang panjang atau keharusan ketergantungan yang khusus pada spsies manusia.
3)
oleh karena
kemampuan untuk mendisiplin diri harus menjadi tujuan pendidikan, maka
menegakan disiplin adalah suatu cara yang diperlukan untuk mencapai tujuan
tersebut.
4)
esensialisme
menawarkan sebuah teori yang kokoh, kuat tentang pendidikan, sedangkan
sekolah-sekolah pesaingnya (progresivisme) memberikan sebuah teori yang lemah.[6]
Bagi penganut Esensialisme pendidikan merupakan
upaya untuk memelihara kebudayaan, “Edukation as Cultural Conservation”. Mereka
percaya bahwa pendidikan harus didasarkan kepada nilai-nilai kebudayaan yang
telah ada sejak awal peradaban umat manusia. Sebab kebudayaan tersebut telah
teuji dalam segala zaman, kondisi dan sejarah. Kebudayaan adalah esensial yang
mempu mengemban hari, kini dan masa depan umat manusia.
Pendidikan bertujuan mentransmisikan kebudayaan
untuk menjamin solidaritas sosial dan kesejahteraan umum. Fungsi utama sekolah
adalah memelihara nilai-nilai yang telah turun-temurun, dan menjadi penuntun
penyesuayan orang (individu) kepada masyarakat. Sekolah yang baik adalah
sekolah yang berpusat pada masyarakat, “society centeret school”, yaitu sekolah
yang mengutamakan kebutuhan dan minat masyarakat.
Kurikulum (isi pendidikan) direncanakan dan
diorganisasi oleh seorang dewasa atau guru sebagai wakil masyarakat, society
centered. Hal ini sesuai dengan dasar filsafat idealisme dan realisme yang
menyatakan bahwa masyarakat dan alam (relisme) atau masyarakat dan yang absolut
(idealisme) mempunyai perana menentukan bagaimana seharusnya individu (pesarta
didik)hidup.
Dalam hal metode pendidikan Esensialisme
menyarankan agar sekolah-sekolah mempertahankan metode-metode tradisional yang
berhubungan dengan disiplin mental. Metode problem solving memang ada
manfaatnya, tetapi bukan prosedur yang dapat diterapkan dalam seluruh kegiatan
belajar.
Guru atau pendidik berperan sebagai mediator atau
jembatan antara dunia masyarakat atau orang dewasa dengan dunia anak. Guru
harus disiapkan sedemikian rupa agar secara teknis mampu melaksanakan perannya
sebagai pengarah proses belajar. Adapun secara moral guru haruslah orang
terdidik yang dapat dipercaya. Dengan denikian inisiatif dalam pendidikan
ditekankan pada guru, bukan pada peserta didik.
Peran peserta didik adalah belajar, bukuan untuk
mengatur pelajaran. Menurut idealisme belajar, yaitu menyesuaikan diri pada
kebaikan dan kebenaran seperti yang telah ditetapkan oleh yang absolut.
Sedangkan menurut realisme belajar berarti penyesuaian diri terhadap masyarakat
dan alam. Belajar berarti menerima dan mengenal dengan sungguh-sungguh
nilai-nilai sosial oleh angkatan baru yang timbul untuk ditambah dan dikurangi
dan diteruskan kepada angktan berikutnya.[7]
2.2 ALIRAN PERENIALISME
A. Pengertian
Perenialisme
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, perenialisme
mengandung kata “perenial” yang berarti “dapat hidup terus menerus”.[8]
Sedangkan menurut Zuhairini, Perenialisme diambil dari kata “perennial” yang
dalam Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English diartikan
sebagai “continuing throughout the whole year” atau “lasting for a very long
time” yang artinya abadi atau kekal.[9]
Dari makna yang terkandung dalam kata itu adalah aliran perenialisme mengandung
kepercayaan filsafat yang berpegang pada nilai-nilai dan norma-norma yang
bersifat kekal abadi.
Perenialisme melihat bahwa akibat dari kehidupan
zaman moderen telah menimbulkan krisis di berbagai bidang kehidupan umat
manusia. Mengatasi krisis ini perenialisme memberikan jalan keluar berupa
“kembali kepada kebudayaan masa lampau” regresive road to culture. Oleh sebab
itu perennialisme memandang penting peranan pendidikan dalam proses
mengembalikan keadaan manusia zaman modren ini kapada kebudayaan masa
lampauyang dianggap cukup ideal yang telah teruji ketangguhan nya.
Asas yang dianut perenialisme bersumber pada
filsafat kebudayaan yang terkiblat dua, yaitu (a) perenialisme yang theologis –
bernaung dibawah supremasi gereja katolik. Dengan orientasipada ajaran dan
tafsir Thomas Aquinas – dan (b) perenialisme sekuler berpegang pada ide dan
cita Plato dan Aristoteles.[10]
B. Sejarah Perkembaga
Aliran Perenialisme
Perenialisme merupakan suatu aliran dalam
pendidikan yang lahir pada abad ke-20. Perenialisme lahir dari suatu reaksi
terhadap pendidikan progresif. Perenialis menentang pandangan progresivisme
yang menekankan perubahan dan sesuatu yang baru. Perenialisme memandang situasi
dunia dewasa ini penuh kekacauan, ketidakpastian, terutama dalam kehidupan
moral, intelektual, dan sosiokultural.[11]
Solusi yang ditawarkan kaum perenialis adalah
dengan jalan mundur ke belakang dengan menggunakan kembali nilai-nilai atau
prinsip-prinsip umum yang telah menjadi pandangan hidup yang kukuh, kuat pada
zaman kuno dan abad pertengahan. Peradaban – kuno (Yunani Purba) dan abad
pertengahan dianggap sebagai dasar budaya bangsa-bangsa di dunia dari masa ke
masa dari abad keabad.[12]
Perenialisme memandang bahwa
kepercayaan-kepercayaan aksiomatis zaman kuno dan abad pertengahan perlu
dijadikan dasar penyusunan konsep filsafat dan pendidikan zaman sekarang. Sikap
ini bukanlah nostalgia (rindu akan hal-hal yang sudah lampau semata-mata)
tetapi telah berdasarkan keyakinan bahwa kepercayaan-kepercayaan tersebut
berguna bagi abad sekarang. Jadi sikap untuk kembali kemasa lampau itu
merupakan konsep bagi perenialisme di mana pendidikan yang ada sekarang ini
perlu kembali kemasa lampau dengan berdasarkan keyakinan bahwa kepercayaan itu
berguna bagi abad sekarang ini.
Asas-asas filsafat perenialisme bersumber pada
filsafat, kebudayaan yang mempunyai dua sayap, yaitu perenialisme yang
theologis yang ada dalam pengayoman supermasi gereja Katholik, khususnya
menurut ajaran dan interpretasi Thomas Aquinas, dan perenialisme sekular yakni
yang berpegang kepada ide dan cita filosofis Plato dan Aristoteles.
Pandangan-pandangan Thomas Aquinas di atas
berpengaruh besar dalam lingkungan gereja Katholik. Demikian pula
pandangan-pandangan aksiomatis lain seperti yang diutarakan oleh Plato dan
Aristoteles. Semuanya itu mendasari konsep filsafat pendidikan perenialisme.[13]
C. Pandangan Perenialisme Terhadap Pendidikan
Dibidang pendidikan, perenialisme sangat
dipengaruhi oleh tokoh tokohnya: Plato, Aristoteles dan Thomas Aquinas. Dalam
hal ini pokok pikiran Plato tentang ilmu pengetahuan dan nilai-nilai adalah
manifestasi dari pada hukum universal yang abadi dan sempurna, yakni ideal,
sehingga ketertiban sosial hanya akan mungkin bila ide itu menjadi ukuran, asas
normatif dalam tata pemerintahan. Maka tujuan utama pendidikan adalah “membina
pemimpin yang sadar dan mempraktekkan asas-asas normatif itu dalam semua aspek
kehidupan. Menurut Plato, manusia secara kodrati memiliki tiga potensi,
yaitu: nafsu, kemauwan dan pikiran. Pendidikan hendaknya berorientasi pada
potensi itudan kepada masyarakat, agar supaya kebutuhan yang ada disetiap
lapisan masyarakat bisa terpenuhi. Ide-ide Plato itu dikembangkan oleh
Aristoteles dengan lebih mendekat pada dunia kenyataan. Bagi Aristoteles,
tujuan pendidikan adalah “kebahagiaan”. Untuk mencapai tujuan pendidikan itu,
maka aspek jasmani, emosi yang intelek harus dikenbangkan secara seimbang.
Seperti halnya prinsip-prinsip Plato dan
Aristoteles, pendidikan yang dimaui oleh Thomas Aquinas adalah sebagai ”Usaha
mewujutkan kapasitas yang ada dalam individu agar menjadi aktualitas” aktif dan
nyata. Dalam hal ini peranan guru adalah mengajar – memberi bantuan pada anak didik
untuk mengembangkan potensi-potensi yang ada pada nya.
Prinsip-prinsip pendidikan perenialisme tersebut
perkembangannya telah mempengaruhi sistem pendidikan modern, seperti pembagian
kurikulum untuk sekolah dasar, menengah perguruan tinggi dan pendidikan orang
dewasa.[14]
Menurut
Dinn Wahyudin dalam bukunya, adapun pandangan aliran perenialisme yang
berkauitan dangan pendidikan yaitu:
Ø Pendidikan
Perenialisme memandang edukation as cultural
regresion: pendidikan sebagai jalan kembali,atau proses mengembalikan
keadaan manusia sekarang seperti dalam kebudayaan masa lampau yang dianggap
sebagai kebudayaan yang ideal. Tugas pendidikan adalah memberikan pengetahuan
tentang nilai-nilai kebenaran yang pasti, absolut, dan abadi yang terdapat
dalam kebudayaan masa lampau yang dipandang kebudayaan ideal tersebut.
Sejalan dengan hal diatas, perenialist percaya
bahwa prinsip-prinsip pendidikan juga bersifat universal dan abadi.
Robert M. Hutchins mengemukakan ”Pendidikan mengimplikasikan pengajaran.
Pengajaran mengiplikasikan pengetahuan. Pengetahuan adalah kebenaran. Kebenaran
dimanapun dan kapanpun adalah sama”. Selain itu, pendidikan dipandang sebagai suatu
persiapan untuk hidup, bukan hidup itu sendiri.
Ø Tujuan pendidikan
Bagi perenialist bahwa nilai-nilai kebenaran
bersifat universal dan abadi, inilah yang harus menjadi tujuan pendidikan yang
sejati. Sebab itu, tujuan pendidikannya adalah membantu peserta didik
menyingkapkan dan menginternalisasikan nila-nilai kebenaran yang abadi agar
mencapai kebijakan dan kebaikan dalam hidup.
Ø Sekolah
Sekolah merupakan lembaga tempat latihan elite
itelektual yang mengetahui kebenaran dan suatu waktu akan meneruskannya kepada
generasi pelajar yang baru. Sekolah adalah lembaga yang berperan mempersiapkan
peserta didik atau orang muda untuk terjun kedalam kehidupan. Sekolah bago
perenialist merupakan peraturan-peraturan yang artificial dimana peserta
didik berkenalan dengan hasil yang paling baik dari warisan sosial budaya.
Ø Kurikulum
Kurikulum pendidikan bersifat subject centered berpusat
pada materi pelajaran. Materi pelajaran haris bersifat uniform, universal
dan abadi, selain itu materi pelajaran terutama harus terarah kepada
pembentukan rasionalitas manusia, sebab demikianlah hakikat manusia. Mata
pelajaran yang mempunyai status tertinggi adalah mata pelajaran yang mempunyai
“rational content” yang lebih besar.
Ø Metode
Metode pendidikan atau metode belajar utama yang
digunakan oleh perenialist adalah membaca dan diskusi, yaitu membaca dan
mendikusikan karya-karya besar yang tertuang dalam the great books dalam
rangka mendisiplinkan pikiran.
Ø Peranan guru dan peserta didik
Peran guru bukan sebagai perantara antara dunia
dengan jiwa anak, melainkan guru juga sebagai “mirid” yang mengalami proses
belajar serta mengajar. Guru mengembangkan potensi-potensi self-discovery, dan
ia melakukan moral authority (otoritas moral) atas murid-muridnya karena
ia seorang propesional yang qualifiet dan superior.[15]
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
1.
Perenialisme
mengandung kepercayaan filsafat yang berpegang pada nilai-nilai dan norma-norma
yang bersifat kekal abadi, sedangkan Esensialisme berusaha mencari dan
mempertahankan hal-hal yang esensial, yaitu sesuatu yang bersifat inti atau
hakikat fundamental, atau unsur mutlak yang menentukan keberadaan sesuatu.
2.
Esensialisme
muncul pada zaman Renaissance dengan ciri-ciri utama yang berbeda dengan
progresivisme, yaitu yang tumbuh dan berkembang disekitar abad 11, 12, 13 dan
ke 14 Masehi, sedangkan Perenialisme merupakan suatu aliran dalam pendidikan
yang lahir pada abad ke-20.
3.
Esensialisme
memandang pendidikan merupakan upaya untuk memelihara kebudayaan, “Edukation as
Cultural Conservation”, sedangkan perenialisme mengandung kepercayaan filsafat
yang berpegang pada nilai-nilai dan norma-norma yang bersifat kekal abadi, dan pendidikan
adalah untuk memberikan pengetahuan tentang nilai-nilai kebenaran yang pasti,
absolut, dan abadi yang terdapat dalam kebudayaan masa lampau.
DAFTAR
PUSTAKA
Bamadib, Filsafat Pendidikan, Bandung: Mizan,
1990
Chaedra Alwasiah, Filsafat Bahasa dan
Pendidikan, Bandung: Pt Remaja Rosdakarya, 2008
Dinn Wahyuni, dkk, Pengantar Pendidikan, Jakarta:
Uneversitas Terbuka, 2010
Djumransyah, Filsafat Pendidikan, Bayumedia,
2004
Hamdani Ali, Filsafat Pendidikan,
Yogyakarta: Kota Kembang, 1986
Sa’dullah, Pengantar Filsafat Pendidikan,
Bandung: Alfabeta, 2009
Santoso, Kamus Praktis Bahasa Indonesia, Jakarta:
Pustaka Agung Harapan, 2012
Zuhairini, dkk, filsafat pendidikan islam, Jakarta:
Bumi Aksara, 2008
[1]
Santoso, Kamus Praktis Bahasa Indonesia, Jakarta:
Pustaka Agung Harapan, 2012, h.162
[2]
Dinn Wahyuni, dkk, Pengantar Pendidikan, Jakarta:
Uneversitas Terbuka, 2010, h.14
[3]
Djumransyah, Filsafat Pendidikan,
Bayumedia, 2004, h.183
[4]
Ibid, Djumransyah, h.184
[5]
Chaedra Alwasiah, Filsafat Bahasa
dan Pendidikan, Bandung: Pt Remaja Rosdakarya, 2008, h.102-103
[6]
Hamdani Ali, Filsafat Pendidikan, Yogyakarta: Kota Kembang, 1986, h.96
[7]
op, cit, Dinn Wahyudin, h.21-22
[8]
op, cit, Santoso, h.390
[9]
Zuhairini, dkk, filsafat pendidikan islam, Jakarta:
Bumi Aksara, 2008, h.27
[10]
Ibid, Zuhairini, h.28
[11]
Sa’dullah, Pengantar Filsafat Pendidikan,
Bandung: Alfabeta, 2009, h.151
[12]
Ibid, Sa’dullah
[13]
Bamadib, Filsafat Pendidikan, Bandung:
Mizan, 1990, h.64-65
[14]
Op, cit, Zuhairini, h.28-29
[15] Op,cit, Dinn Wahyudin, h.20-21
0 Komentar
Berkomentarlah dengan bijak. Gunakan bahasa yang baik.