Update Terbaru

6/recent/ticker-posts

HADITS DHOIF KARENA TIADANYA DHOBIT

BAB I
PENDAHULUAN
1.1         Latar Belakang
Ilmu hadits merupakan salah satu pilar islam yang memang sudah selayaknya dimiliki oleh setiap kaum muslim. Namun belkangan ini, begitu banyak opini umum yang berkembang yang mengatakan bahwa ilmu hadits hanya cukup dipelajari oleh orang-orang yang memang benar-benar memilki kredibilitas dalam ilmu agama sehingga pandangan ini membuat sebagian kaum muslim merasa tidak harus untuk mempelajari ilmu hadits.
Hal ini tentu sangat tidak dibenarkan karena dapat membuat masyarakat muslim menjadi kurang pemahama islamnya terutama dalam menjalankan sunnah-sunnah rosul. Terlebih dengan keadaan saat ini dimana sangat bayak beredar hadits-hadits dho’if dan hadits palsu yang beredar di tengah-tengah kaum  muslim dan tentunya hal ini akan membuat kaum muslimin menjadi pelaku bid’ah. Oleh karena itulah, perlunya kita sebagai umat muslim memilki pengetahuan yang luas tentang ilmu hadits.
Makalah ini akan membahas salah satu hadis dho’if yaitu dho’if karena tiadanya dhobitsebagai bahan untuk menambah pengetahuan kita tentang hadis-hadis Rasulullah SAW, agar kita tidak salah dalam menjalankan sunah-sunahnya.
1.2       Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka yang menjadi permasalahan dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Apa yang dimaksud dengan hadits dho’if?
2.      Apa yang dimaksud dengan dhobit?
3.      Apa saja macam-macam hadis karena tiadanya dhobit?
1.3       Tujuan
Adapun tujua dari makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui pengertian hadits dho’if?
2.      Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan dhobit?
3.      Untuk mengetahui macam-macam hadis karena tiadanya dhobit?
 
BAB II
PEBAHASAN
2.1       Pengertian Hadis Dho’if
Kata dho’if menurut bahasa berarti lemah, sebagai lawan kata dari kuat. Maka sebutan hadis dho’if secara bahasa berarti hadis yang lemah atau hadis yang tidak kuat.[1]
Sedangkan menurut istilah para ulama terdapat perbedaan rumusan dalam mendefinisikan hadis dho’if ini. Al-Nawawi mendefinisikan hadis dhoif dengan hadis yang didalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadis shahih dan syarat-syarat hadis hasan.[2]
Menurut Nur Al-Din yang dikutip oleh Munzier dalam bukuya mendefinisikan hadis dho’if adalah hadis yang hilang salah satu syaratnya dari syarat-syarat hadis maqbul (hadis shahih atau hadis hasan)[3]
2.2       Pengertian Dhobit
Menurut Ibnu Hajar al-Asqalaniy, dhabit dapat dimaknai dengan sesuainya sesuatu dan tidak bertentangan dengan lainnya, mengingat sesuatu secara sempurna, kuat pegangannya. Adapun pengertian dhabit menurut istilah adalah orang yang mendengarkan pembicaraan sebagaimana seharusnya, dia memahami pembicaraan itu secara benar, kemudian dia menghafalnya dengan sungguh-sungguh dan dia berhasil hafal dengan sempurna, sehingga dia mampu menyampaikan hafalannya itu kepada orang lain dengan baik.[4]
2.3       Macam-macam Hadits Do’if Karena Tiadanya Dhobit
            Menurut Abdul Majid dalam bukunya, ada lima macam yang termasuk hadits dho’if karena tiadanya dhobit yaitu (1) hadits munkar, (2) hadits mu’allal, (3) hadits mudraj, (4) hadits maqlub dan (5) hadits mudhtharib.[5]
A.    Hadits Munkar
Kata munkar barasal dari akar kata inkar: انكر– ينكر - انكارا فهو منكر bererti menolak, tidak menerima, lawan dari kata ikrar yang artinya mengakui dan menerima. Cacat yang ada pada perawi itu membuat tertolak dan diingkarinya. Menurut istilah hadits munkar yaitu hadits yang pada sanadnya ada seorang perawi yang parah kesalahannya atau banyak kelupaan atau tampak kefasikanya.[6]
Dari definisi di atas jelas bahwa diantara periwayat hadits munkar ada yang sagat lemah daya ingatnya sehingga periwayatannya menyendiri, tidak sama dengan periwayatan orang tsiqah.
Contoh hadits munkar seperti hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah melalui Usamah Bin Zaid al-Madani dari Ibnu Syihab dari Abu Salamah Bin Abdurrahman bin Auf dari Ayahnya secara marfu’:
صا ئم رمضا ن فى السفر كا لفطر فى الحضر
seorang puasa Ramadhan dalam perjalanan seperti seorang berbuka dalam tempat tinggalnya”
Hadits di atas munkar karena periwayatan Usamah bin Zaid al-Madani secara marfu’ (dari Rasulullah) bertentangan periwayatan Ibnu Abi Dzi’bin yang tsiqah, menurutnya hadits di atas mauquf pada Abdurrahman bin Auf.
Tingkatan kedha’ifanya sangat dho’if setelah matruk karena cacat hadits munkar sangat parah, yaitu banyak kesalahan dan banyak kelupaan dalam periwayatan sehingga menyalahi periwayatan para perawi yang tsiqah.
B.     Hadits Mu’allal
Menurut bahasa, mu’allal علل– يعلل - ثعليلا فهو معلل berasal dari akar kata ‘illah (علة) yang diartikan al-maradh= penyakit. Seolah-olah hadits ini terdapat penyakit yang membuat tidak sehat dan tidak kuat. Bagi seseorang, penyakit ini merupakan cacat dan penghalang bagi kesehatan seseorang, seseorang menjadi lemah kesehatannya ketika terserang suatu penyakit. Sedangkan menurut istilah adalah ungkapan beberapa sebab yang samar tersembunyi yang datang pada hadits, kemudian membuat cacat pada keabsahannya padahal lahirnya selamat daripadanya.[7]
            Kriteria ‘illah adalah adanya cacat yang tersembunyi dan cacat itu mengurangi atau menghilangkan kesahihan suatu hadits. ‘illah terkadang diartikan cacat secara umum dalam hadits, baik tersembunyi dan mencacatkan keabsahan suatu hadits atau tidak seperti sifat dusta, banyak kelupaan dan lain-lain.
‘Illah bisa terjadi karena:
1)      Sanad saja dan ini yang lebih banya, seperti me-mawqufkan suatu hadits yang semestinya mursal atau sebaliknya.
2)      Pada matan, seperti hadits tentang membaca basmalah dalam surat al-Fatihah secara jahar (keras) dalam shalat jahar (shalat wajib malam hari) menurut beberapa ulama, diantaranya Asy-Syafi’i, Ad-Daruquthni, Abdul Barr, Al-Baihaqi, Al-Iraqi, dan As-Suyuti.
Contoh hadits mu’allal seperti hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan Abu Dawud, dari Qutaibah bin Sa’id, memberitakan kepada kami Abdussalam bin Harb al-Mala’i dari Al-A’masy dari Anas berkata:
كا ن النبي صلى الله عليه وسلم اذا اراد الحا جة لم يرقغ ثوبه حتى يدنو من الارض
            adalah Nabi SAW. Ketika hendak hajat tidak mengangkat kainnya sehingga dekat dengan tanah”
Hadits di atas lahirnya shahih karena semua perawi dalam sanad tsiqah, tetapi Al-A’masy tidak mendengar dari Anas bin Malik. Dia melihatnya di Mekah shalat di belakang makam Ibrahim.
            Mengetahui ‘illah hadits termasuk ilmu hadits yang sangat tinggi, karena tidak semua orang mampu menyingkap cacat yang tersembunyi dan tidak mudah mengetahuinya, kecuali bagi para ahli hadits yang memiliki ketajaman dan kejernihan dalam berpikir. Diantara mereka Ibnu Al-Madini, Ahmad, Al-Bukhari, Abi Hatim, dan Ad-Daruquthni. Namun, secara umum dapat diketahui dengan cara menghimpun beberapa sanad, kemudian dianalisis perbedaan para perawi dalam meriwayatkan, tingkat hafalan dan kedhabitan.[8]


C.    Hadits Mudraj
Mudraj berasal dari kata ادرج – يدرخ – ادراحا – فهو مدرج yang berarti memasukan atau menghimpun atau menyisipkan. Jadi, memasukan sesuatu kepada sesuatu yang lain yang semula belum masuk atau belum menjadi bagian dari padanya. Atau menyisipkan sesuatu yang belum dianggap menjadi bagian dari sesuatu yang lain agar dianggap menjadi bagian darinya.
            Menurut istilah, mudraj dibagi menjadi 2 macam :
1)      Mudraj pada sanad ialah hadits yang diubah konteks sanadnya. Misalnya sebagai berikut:
·         Sekelompok jamaah meriwayatkan suatu hadits dengan beberapa sanat yang berbeda, kemudian diriwayatkan oleh seorang perawi dengan menyatukan kedalam satu sanad dari beberapa sanat tersebut tanpa menerangkan ragam dan perbedaan sanad.
·         Seseorang meriwayatkan matan tapi tidak sempurna, kesempurnaannya ia temukan pada sanad yang lain, kemudian ia meriwayatkannya dengan sanad pertama.
·         Seseorang mempunyai dua matan yang berbeda dan dua sanad yang berbeda pula, kemudian ia meriwayatkan denga salah satu sanadnya saja.
·         Seorang perawi menyampaikan periwayatan, di tengah-tengah menyampaikan sanad terhalang oleh suatu gangguan, kemudian ia berbicara dari dirinya sendiri. Di antara pendengarnya ada yang mengira pembicaraan tersebut adalah matan hadits, kemudian ia meriwayatkannya.[9]
Contoh mudraj sanad yang terakhir, kisahnya Tsabit bin Musa ketika bertamu pada syarik bin Abdullah Al-Qadhi yang sedang menyampakan sanad hadits dengan imla’. Ia berkata :
Memberitakan kepada kami Al-A’masy dari Abu Sufyan  dari Jabir dari Rasulullah SAW.... ia diam sejenak ... Karena Tsabit Bin Musa datang. Kemudian ia berkata:
من كثرت صلاته بالليل حسن وجهه بالنهار
“Barang siapa yang banyak shalat pada malam harinya, maka berseri-seri wajahnya pada siang harinya.”
Tsabit menduga bahwa ungkapan tersebut adalah matan dari sanad hadits yang didiktekan kepadanya, kemudian ia meriwayatkannya. Padahal yang dimaksudka dengan ungkapan tersebut adalah seorang Tsabit sendiri karena ia seorang zahid dan wara’.
2)      Mudraj pada matan ialah hadita yang dimasukan kedalam matannya sesuatu yang bukan darinya tanpa adanya pemisah.
Contoh mudraj pada awal matan, hadits riwayat al-Khatib dari Abi Qathan dan Syababah dari Syu’bah dari Muhammad Bin Zayad dari Abu Hurairah berkata: Rasulullah SAW Bersabda :
اسبغوا الوضوء ويل للاعقاب من النار
“sempurnakan wudhu, celaka bagi beberapa tumit kaki dari ancaman api neraka.”
Kata “اسبغوا الوضوء“ adalah mudraj (sisipan) dari perkataan Abu Hurairah sebagaimana periwayatan al-Bukhari dari Adam dari Syu’bah dari Muhammad bin Zayad dari Abu Hurairah berkata:
اسبغوا الوضوءفان ابالقاسم صلى الله عليه وسلم قال ويل للاعقاب من النار
“sempurnakan wudhu, maka sesungguhnya Aba Al-Qasim berkata: “celaka begi beberapa tumit kaki dari ancaman api neraka””.
Hukum periwayatan sisipan atau tambahan kedalam hadits mudraj haram menurut ijma’ ulama, kecuali dimaksudkan memeberikn tafsir atau penjelasan lafal hadits yang sulit dipahami maknanya.[10]
D.    Hadits Maqlub
Maqlub dari akar kata قلب – يقلب – قلبا – فهو مقلوب, berarti mengubah, mengganti, berpindah, atau membalik. Hati dalam bahasa arab Al-Qalbu, karena sifat hati itu berpindah-pindah, berbolak-balik. Dalam hadits maqlub akan terjadi terbaliknya redaksi hadits. Menurut istilah hadits maqlub adalah hadits yang terbalik (redaksinya) baik pada sanad atau pada matan.
Faktor penyebab karena memang kesalahan yang tidak disengaja atau karena untuk menguji daya ingat seseorang, seperti yang terjadi terhadapa kecerdasan Al-Bukhari yang dilakukan oleh ulama Baghdad dengan memutar balikan 100 sanad dengan matan lain atau agar lebih dicintai oleh pendengar.[11]
Contoh hadits maqlub dapat terjadi pada sanad dan bisa juga pada matan. Maqlub pada sanad misalnya periwayatan hadits dari Ka’ab bin Murrah di ucapkan Murrah bin Ka’ab. Sedangkan maqlub pada matan misalnya hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar, berkata:
فاذا انا بالنبي صلى الله عليه وسلم جالسا على مقعدته مستقبل القبلة مستضبر الشام
“maka ketika itu aku bersama Nabi SAW  beliau duduk di atas bangku menghadap kiblat dan membelakangi syam.”
Hadits di atas dimaqlubkan menjadi:
مستقبل الشام مستدبر القبلة
“menghadap syam membelakangi kiblat”
E.     Hadits Mudhtharib
Mudhtharib dari akar kataاضطرب – يضطرب – اضطرابا – فهو مضطربberarti guncang dan bergetar, seperti guncangan ombak di laut. Keguncangan suatu hadits dikarenkan terjadi kontar antara satu hadits dengan hadits lain, berkualitas sama dan tidak dapat dipecahkan secara ilmiah. Menurut istilah hadits mudhtharib adalah hadits yang diriwayatkan pada beberapa segi yang berbeda tetapi sama dalam kualitasnya.[12]
Diantara sebab idhtharibnya suatu hadits adalah karena lemahnya daya ingat perawi dalam meriwayatkan hadits tersebut, sehingga terjadi kontra yang tidak kunjung dapat diselesaikan solusinya.
Contoh hadits mudhtharib kebanyakan terjadi pada sanad dan sedikit terjadi pada matan. Seperti hadits Abu Bakar ra berkata: Ya Rasulullah aku melihat engkau beruban. Rasulullah menjawab:
شيبتنى هود واخواتها
“membuat uban rambutku Surah Hud dan saudara-saudaranya” (HR. At-Tirmidzi)
Ad-Daruquthni berkata hadits ini mudhtharib karena hanya diriwayatkan melalui Abu Ishaq dan diperselisihkan dalam sekitar 10 segi maslah. Di antara mereka ada yang meriwayatkannya secara mursal. Di antara mereka ada yang menjadikannya dari musnad Abi Bakar, Musnad Aisyah, Musnad Sa’ad, dan lain-lain. Semua tsiqah, tetapi tidak dapat dikompromokan dan tidak dapat ditarjih.


BAB III
PENUTUP
3.1              Kesimpulan
1.      Hadis dho’if adalah hadis yang hilang salah satu syaratnya dari syarat-syarat hadis maqbul (hadis shahih atau hadis hasan).
2.      Dhabit menurut istilah adalah orang yang mendengarkan pembicaraan sebagaimana seharusnya, dia memahami pembicaraan itu secara benar, kemudian dia menghafalnya dengan sungguh-sungguh dan dia berhasil hafal dengan sempurna, sehingga dia mampu menyampaikan hafalannya itu kepada orang lain dengan baik.
3.      Ada lima macam yang termasuk hadits dho’if karena tiadanya dhobit yaitu (1) hadits munkar, (2) hadits mu’allal, (3) hadits mudraj, (4) hadits maqlub dan (5) hadits mudhtharib.


DAFTAR PUSTAKA
Abdul Majid, Ulumul Hadits, (Cet 2, t.tp): Amzah, 2007
Al-Nawawi, Shahih Muslim Syarh al-Nawawi, Kairo: Syirqah Iqamat al-Din, 1349
http://www.referensimakalah.com/2012/08/pengertian-dhabit-dalam-ilmu-hadis.html
Munzier Suparta, Ilmu Hadis, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 1993



[1] Munzier Suparta, Ilmu Hadis, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 1993, h.150
[2] Al-Nawawi, Shahih Muslim Syarh al-Nawawi, Kairo: Syirqah Iqamat al-Din, 1349, h.108
[3] Munzier, op. Cit., h.150
[4]http://www.referensimakalah.com/2012/08/pengertian-dhabit-dalam-ilmu-hadis.html
[5] Abdul Majid, Ulumul Hadits, (Cet 2, t.tp): Amzah, 2007, h.211
[6]Ibid, Abdul Majid, h.211

[7]Ibid, Abdul Majid, h.212
[8]Ibid, Abdul Majid, h.214
[9]Ibid, Abdul Majid, h.216
[10]Ibid, Abdul Majid, h.217
[11]Ibid, Abdul Majid, h.218
[12]Ibid, Abdul Majid, h.219

Posting Komentar

0 Komentar