Update Terbaru

6/recent/ticker-posts

QIRA'AT AL-QUR'AN

BAB I
PEBDAHULUAN
1.1       Latar Belakang
Bangsa Arab merupakan komunitas terbesar dengan berbagai suku termaktub didalamnya. Setiap suku memiliki dialek (lahjah) yang khusus dan berbeda dengan suku-suku lainnya. Perbedaan dialek itu tentunya sesuai dengan kondisi alam, seperti letak geografis dan sosio cultural pada masing-masing suku. Layaknya Indonesia yang memiliki bahasa persatuan, maka bangsa Arabpun demikian. Mereka menjadikan bahasa Quraisy sebagai bahasa bersama dalam berkomunikasi, berniaga, mengunjungi ka’bah, dan melakukan bentuk-bentuk interaksi lainnya. Dari kenyataan di atas, sebenarnya kita dapat memahami alasan Al-Qur’an diturunkan dengan menggunakan bahasa Quran.


Perbedaan-perbedaandialek itu membawa konsekuensi lahirnya bermacam-macam bacaan (qira’at) dalam melafalkan Al-Qur’an. Lahirnya bermacam-macam qira’at itu sendiri, tidak dapat dihindarkan lagi. Oleh karena itu, Rasulullah SAW sendiri membenarkan pelafalan Al-Qur’an dengan berbagai macam qira’at. Makalah ini akan membahas berbagai permasalaaha yang tentunya berkaitan dengan qira’atAl-Qur’an.
1.2       Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah pada makalah ini adalah :
  1. Apa yang dimaksud dengan Al-Qur’an?
  2. Apa yang dimaksud dengan qira’at?
  3. Bagaimana sebab-sebab terjadinya qira’at?
  4. Apa saja macam-macam dan syarat-syarat qira’at?
1.3       Tujuan
1.      Untuk mengetahui pengertian dari Al-Qur’an.
2.      Untuk Mengetahui pengertian dari qira’at.
3.      Untuk Mengetahui sebab-sebab terjadinya qira’at.
4.      Untuk Mengetahui macam-macam dan syarat-syarat qira’at.

BAB II
PEMBAHASAN


2.1              Pengertian Al-Qur’an


A.    Menurut Bahasa
Secara bahasa, pengertian Al-Qur’an dikemukakan oleh beberapa ahli diantaranya menurut Al-Syafi’iy mengataka bahwa kata Al-Qur’an tidak menggunakan huruf hamzah dan tidak diambil dari قرا  karena kalau diambil dari قرا  pasti semua yang dibaca dinamakan Al-Qur’an. Akan tetapi kata Al-Qur’an itu merupakan nama bagi Al-Qur’an seperti Taurat dan Injil.[1]
Al-Farra’ mengatakan bahwa kata Al-Qur’an pecahan kata dari القرائن  jamak dari قرينه  yang artinya perhubungan atau pertalian. Alasannya karena ayat-ayat Al-Qur’an serupa dan seakan-akan berhubungan satu dengan lainnya. Sedangkan huruf nun (ن) pada القرائن adalah asli.[2]
Sedangkan Al-Zarkasyi mengatakan bahwa kata Al-Qur’an adalah pecahan kata dari القري yang bererti الجمع (mengumpulkan atau menghimpun). Pengertian ini diangkat dari kebiasaan orang Arab mengucapkan kalimat قريتالماءفى الخوض (saya mengumpulkan air ini di dalam kolam). Alasannya menurut Al-Ragib adalah karena Al-Qur’an itu mengumpulkan buah kitab sebelumnya juga mengumpulkan berbagai macam ilmu.[3]
B.     Menurut Istilah
Secara terminologi pengertian Al-Qur’an menurut para ahli diantaranya menurut Subkhi al-Salih bahwa Al-Qur’an adalah kalam mu’jiz yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, ditulis dalam mushaf, diriwayatkan darinya secara mutawatir dan dengan membacanya termasuk ibdah.[4]
Menurut Al-Sayutiy bahwa Al-Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang tidak dapat ditandingi oleh yang menentangnya, walaupun hanya satu surah daripadanya.[5]
Berdasarkan beberapa referensi di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa Al-Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, melalui perantara malaikat Jibril dengan jalan mutawatir sebagai petunjuk bagi manusia dan membacanya merupakan ibadah.
2.2              Pengertian Qira’at
Qira’at adalah bentuk jamak dari kata qira’ah yang secara bahasa berarti bacaan.[6] Secara istilah Al-Zarqanimengemukakan definisi qira’ah sebagai berikut:
“Suatu mazhab yang dianut oleh seseorang imam qira’at yang berbeda dengan lainnya dengan pengucapan Al-Qur’an Al-Karim serta sepakat riwayat-riwayat dan jalur-jalur dari padanya, baik perbedaan dari pengucapan maupun alam pengucapan  keadaan-keadaannya.[7]

Sedangkan menurut Ibn Al-Jazari qira’at adalah ilmu yang menyangkut cara-cara mengucapkan kata-kata Al-Qur’an dan perbedaan-perbedaannya dengan cara menisbatkan kepada penukilnya.[8]
Menurut Al-Qasthalani, qira’at adalah suatu ilmu yang mempelajari hal-hal yang disepakati atau diperselisihkan ulama yang menyangkut persoalan lughat, hadzaf, I’rab, itsbat, fashl, dan washl yang kesemuanya diperoleh secara periwayatan.[9]
Perbedaan cara pendefenisian di atas sebenarnya berada pada satu kerangka yang sama, yaitu bahwa ada beberapa cara melafalkan Al-Qur’an walaupun sama-sama berasal dari satu sumber, yaitu Muhammad SAW. Dengan demikian, dari penjelasan-penjelasan di atas, maka ada tiga qira’at yang dapat ditangkap dari definisi diatas yaitu :
1.      Qira’at berkaitan dengan cara pelafalan ayat-ayat Al-Qur’an yang dilakukan salah seorang iman dan berbeda cara yang dilakukan imam-imam lainnya.
2.      Cara pelafalan ayat-ayat Al-Qur’an itu berdasarkan atas riwayat yang bersambung kepada Nabi. Jadi, bersifat tauqifi, bukan ijtihadi.
3.      Ruang lingkup perbedaan qira’at itu menyangkut persolan lughat, hadzaf,I’rab, itsbat, fashl, dan washil.

2.3              Sebab-sebab Timbulnya Perbedaan Qira’at
Menurut Muhammad Mustofa Azami yang dikutip oleh Muhammad Alifuddin bahwa ilmu qira’at yang benar awalnya diperkenalkan oleh Nabi Muhammad SAW., sendiri. Teks Al-Qur’an diturunkan (diwahyukan) dalam bentuk lisan dan mengumumkannya dengan lisan pula, berarti Nabi secara otomatis menyediakan teks dan cara pengucapan kepada umatnya. Keduanya merupakan satu-kesatuan yang tak terpisahkan.[10]
Lalu mengapa terjadi perbedaan qira’at? Azami mengungkapkan hal ini sebagai berikut: Sebelum islam berkembang luas, maka dialek Quraisy adalah satu-satunya dialek yang biasa digunakan oleh Nabi khususnya ketika beliau masih bermukim di Makkah. Namun ketika beliau berada di Madinah, terlebih lagi ketika ekspansi islam semakin meluas dan melintasi belahan wilayah Arab lain dengan suku bangsa dan dialek baru, kondisi tersebut menjadikan dialek kaum Quraisy sulit untuk dipertahankan sebagai satu-satunya dialek yang berlaku. Qira’at sebenarnya telah muncul sejak zaman Nabi walaupun pada saat itu qira’at bukan merupakan sebuah disiplin ilmu, ada beberapa riwayat yang dapat mendukung asumsi ini, yaitu :
Muslim dalam kitab sahihnya mengutip hadis berikut ini:


 
Artinya :
Dari Ubay bin Ka'ab ra. bahwasanya Rasulullah saw. berada di Bani Ghifar, datanglah Jibril as. berkata : "Sesungguhnya Allah Yang Maha Mulia dan Maha Besar menyuruh engkau untuk membacakan Al-Qur'an kepada umatmu atas satu huruf (Qira'at). Beliau bersabda : "Aku memohon kepada Allah akan maaf dan ampunan-Nya, karena sesungguhnya umatku tidak mampu atas yang demikian itu". Jibril datangyang kedua kalinya dan berkata : "Sesungguhnya Allah Yang Maha Mulia dan Maha Besar menyuruh engkau agar membacakan Al-Qur'an kepada umatmu atas dua huruf (Qira'at)". Beliau bersabda : "Aku mohon kepada Allah akan ma'af dan ampunan-Nya, karena sungguh umatku tidak mampu atas yang demikian itu". Kemudian Jibril datang pada beliau untuk yang ketiga kalinya, lalu berkata : "Sesungguhnya Allah Yang Maha Mulia dan Maha Besar memerintahkan engkau untuk membacakan Al-Qur'an kepada umatmu atas tiga huruf (Qira'at). Beliau bersabda : "Sesungguhnya umatku tidak mampu atas yang demikian itu". Kemudian Jibril datang kepada beliau yang keempat kalinya, lalu ia berkata : "Sesungguhnya Allah Yang Maha Mulia dan Maha Besar memerintahkan engkau untuk membacakan Al-Qur'an kepada umatmu atas tujuh huruf (Qira'ah), huruf (Qira'ah) manapun (dari tujuh itu) yang mereka baca maka mereka telah betul".(Hadits ditakhrij oleh An Nasa'i.)[11]

Sedangkan imam Bukhari dalam kitab sahihnya mengutip hadis berikut:
حديث عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رضي الله عنه، قَالَ: سَمِعْتُ هِشَامَ بْنَ حَكِيمِ بْنِ حِزَامٍ يَقْرَأُ سُورَة الْفُرْقَانِ عَلَى غَيْرِ مَا أَقْرَؤهَا، وَكَانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم أَقْرَأَنِيهَا، وَكِدْتُ أَنْ أَعْجَلَ عَلَيْهِ، ثُمَّ أَمْهَلْتُهُ حَتَّى انْصَرَفَ، ثُمَّ لَبَّبْتُهُ بِرِدَائِهِ فَجِئْتُ بِهِ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم، فَقُلْتُ إِنِّي سَمِعْتُ هذَا يَقْرَأُ عَلَى غَيْرِ مَا أَقْرَأْتَنِيهَا؛ فَقَالَ لِي: أَرْسِلْهُ ثُمَّ قَالَ لَهُ: اقْرَأْ فَقَرَأَ، قَالَ: هكَذَا أُنْزِلَتْ ثُمَّ قَالَ لِي: اقْرَأْ فَقَرَأْتُ، فَقَالَ: هكَذَا أُنْزِلَتْ، إِنَّ الْقُرْآنَ أُنْزِلَ عَلَى سَبْعَةِ أَحْرُفِ فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ
Artinya:
Umar bin Al-khatthabr.a. berkata: Saya mendengar Hisyam bin Hakiem bin Hizaam membaca suratAlfuroan lain dengan yang saya baca. Sedang aku telah diajari oleh Rasulullah saw bacaan itu, hampir saya keburu menegurnya, tetapi saya sabarkan hingga selesai lalu saya kalungkan serban di lehernya dan saya bawa kepada Nabi saw. kemudian saya katakan kepada Nabi saw.: Saya telah mendengar orang ini membaca bacaan lain dari yang engkau ajarkan kepadaku. Nabi saw. bersabda: Lepaskan, lalu Nabi saw. menyuruh Hisyam: Bacalah, lalu dibaca oleh Hisyam sebagaimana yang saya dengar itu, tiba-tiba Nabi saw. bersabda: Begitulah diturunkan. Lalu Nabi saw. berkata kepadaku: Bacalah, lalu ku baca. Nabi sawi berkata: Begitulah diturunkan, sesungguhnya Alqur'an ini diturunkan dengan tujuh huruf, maka. bacalah mana yang ringan untukmu.[12]

            Sumber qira’at diperoleh dari Nabi secara langsungmelalui indra pendengaran tatkala nabi mengucapkan atau membaca kitab Allah, lalu qira’at tersebut dipopulerkan oleh sahabat Nabi dan seterusnya diturunkan kepada para tabi’ tabi’in hingga generasi berikutnya, juga dapat melalui riwayat-riwayat hadits yang disandarkan pada Nabi SAW.

            Adanya perbedaan qira’at disebabkan oleh beberapa faktor:
1)      Perbedaan syakl, harakat atau huruf. Hal ini disebabkan karena mushaf-mushaf masa awal tidak/belum memiliki atau menggunakan syakl dan harakat. Maka imam-imam qira’at membantu memberikan bentuk-bentuk qira’at. Misalnya dalam QS. Al-Baqarah: 222
وَيَسۡ‍َٔلُونَكَ عَنِ ٱلۡمَحِيضِۖ قُلۡ هُوَ أَذٗى فَٱعۡتَزِلُواْ ٱلنِّسَآءَ فِي ٱلۡمَحِيضِ وَلَا تَقۡرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطۡهُرۡنَۖ فَإِذَا تَطَهَّرۡنَ فَأۡتُوهُنَّ مِنۡ حَيۡثُ أَمَرَكُمُ ٱللَّهُۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلتَّوَّٰبِينَ وَيُحِبُّ ٱلۡمُتَطَهِّرِينَ ٢٢٢
Kata (يطهرن ) bisa dibaca “yathhurna” dan bisa pula dibaca “yaththahurna”. Jika dibaca dengan qira’at pertama maka berarti “ (behenti dari haid tanpa mandi terlebih dahulu)”. Sedangka yang kedua bermakna “ (berhenti dari haid dan telah mandi wajib terlebih dahulu)”.[13]
2)      Nabi sendiri melantunkan beberapa versi qira’at didepan para sahabat-sahabatnya. Contohnya QS. Al-Rahman : 76
مُتَّكِ‍ِٔينَ عَلَىٰ رَفۡرَفٍ خُضۡرٖ وَعَبۡقَرِيٍّ حِسَانٖ ٧٦
Lafal رفرف dan وعبقري  pernah dibaca oleh nabi dengan “rafaa rafin” dan “abaqiry”.
3)      Adanya pengakuan dari Nabi (takrir) terhadap berbagai versi qira’at yang dilantunkan oleh para sahabat. Misalnya kata “hiinin” dalam QS. Yusuf: 35 ada diantara sahabat yang membacanya “iinin”.
4)      Adanya kenyataan perbedan riwayat dari sahabat Nabi tentang qira’at menyangkut ayat-ayat tertentu.
5)      Karena adanya perbedaan lahjah (dialek) dari berbagai unsur etnik yang hidup dimasa Nabi.[14]
Dalam referensi lain, menurut  analisis yang disampaikan Sayyid Ahmad khalil, perbedaan qira’at itu bermula dari bagaimana seorang guru membacakan qira’at itu kepada murid-muridnya. Dan kalau diruntun, cara membaca Al-Qur’an yang berbeda-beda itu, sebagaimana dalam kasus Umar dengan Hisyam, dan itupun diperbolehkan oleh Nabi sendiri. Hal itulah yang mendorong beberapa utama mencoba merangkum bentuk-bentuk perbedaan cara menghafalkan Al-Qur’an itu sebagai berikut :
1)      Perbedaan dalam I’rab atau harakat kalimat tanpa perubahan makna dan bentuk kalimat, misalnya pada firman Allah pada surat An-nisa’ ayat 37 tentang pembacaan “Bil Buhkhli” (artinya kikir), disini dapat dibaca dengan harakat “Fatha” pada huruf Ba’-nya, sehingga dibaca Bil Bakhli, dapat pula dibaca “Dhommah” pada Ba’-nya, sehingga menjadi Bil Bukhli.
2)      Perbedaan I’rab dan harakat (baris) kalimat sehingga mengubah maknanya, misalnya pada firman Allah surah Saba’ ayat 19, yang artinya “ Ya Tuhan kami jauhkanlah jarak perjalanan kami “. Kata yang diterjemahkan menjadi jauhkanlah diatas adalah “ba’id karena statusnya fi”il amar, maka boleh juga dibaca ba’ada yang berarti kedudukannya menjadi fi’il mahdhi artinya telah jauh
3)      Perbedaan pada perubahan huruf tanpa perubahan I’rab dan bentuk tulisannya, sedangkan maknanya berubah, misalnya pada firman Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 259,  yang artinya “……dan lihatlah kepada tulang belulang keledai itu, kemudian kami menyusunnya kembali.” Di dalam ayat tersebut terdapat kata “nunsyizuhaa” artinya (kemudian kami menyusun kembali), yang ditulis dengan huruf  Zai (  ز  ) diganti dengan huruf ra’ (  ر  ) sehingga berubah bunyi  menjadi “nunsyiruha” yang berarti (kami hidupkan kembali).
4)      Perubahan pada kalimat dengan perubahan pada bentuk tulisannya, tetapi maknanya tidak berubah, misalnya pada firman Allah dalam surah Al-Qoria’ah ayat : 5,  yang artinya “……..dan gunung-gunung seperti bulu yang dihamburkan “. Dalam ayat tersebut terdapat bacaan “kal-ih-ni” dengan “ka-ash-shufi” sehingga kata itu yang mulanya bermakna bulu-bulu berubah menjadi bulu-bulu domba.
5)      Perbedaan pada kalimat yang menyebabkan perubahan bentuk dan maknanya, misalnya pada ungkapan “thal in mandhud” menjadi “thalhin mandhud”
6)      Perbedaan dalam mendahulukan dan mengakhirkannya, misalnya pada firman Allah dalam surah Qof ayat : 19,  yang artinya “dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya”. Menurut suatu riwayat Abu Bakar pernah membacanya menjadi “wa ja’at sakrat al-haqq bin al-maut. Ia menggeser kata “al-maut” ke belakang dan memasukkan kata “al-Haq”. Sehingga jika diartikan dalam bahasa Indonesia menjadi “dan datanglah sekarat yang benar-benar dengan kematian”.
7)      Perbedaan dengan menambahi dan mengurangi huruf, seperti pada firman Allah dalam surah al-Baqarah: 25, yang artinya “…surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya.” Dalam ayat tersebut terdapat kata “min”, kata ini dibuang pada ayat serupa menjadi tanpa “min” dan sebaliknya pada ayat lain yang serupa menjadi tanpa “min” dan sebaliknya pada ayat lain yang serupa tidak terdapat “min” justru ditambah.[15]

Ilmu qira’at sangat berkaitan dengan cara membaca Al-Qur’an itu sendiri. Timbul banyak pertanyaan menganai perbedaan cara baca ayat Al-Qur’an, salah satunya mengenai cara membaca awal surat dalam Al-Qur’an. Apakah perbedaan ini berkaitan dengan perbedaan qira’at?
Seperti yang kita ketahui bahwa ilmu qira’at bersumber dari riwayat dan bukan berdsarkan ijtihad, jadi untuk menjawab hal ini perlu dilakkan kajian pustaka secara koprehensip mengenai ilmu  qira’at. Akan tetapi, berdasarkan beberapa referensi dan sumber yang telah dikumpulkan oleh penulis, maka penulis berkesimpulan bahwa pada masa Nabi, sahabat tidak pernah beselisih atau berbeda qira’at tentang membaca awal surat dalam Al-Qur’an terutama yang kita kenal dengan harfu al-muqhata’ (huruf-huruf potong) . Hal ini dikarenakan Al-Qur’an turun menggunakan bahasa mereka dan untuk membacanya ada kaedah-kaedah yang harus diperhatikan yang disebut dengan ilmu tajwid.
Agar lebih jelasnya penulis akan memeberikan sedikit penjelasan tentang cara membaca harfu al-muqata’ pembuka surat dalam Al-Qur’an berdasarkan ilmu tajwid yang benar.

            Menurut Pak Hasdin, huruf potong sebagai pembuka surat dalam Al-Qur’an ada 13 huruf yang dibagi kedalam 2 kategori. Pertama adalah huruf yang ukuran panjangnya adalah 2 harakat / ketukan atau sama dengan 1 Alif. Hurufnya ada 5 yaitu حَيٌّ طَهَرَ (ح ي ط ه ر ). Ke dua, adalah huruf yang ukuran panjangnya adalah 6 harakat / ketukan atau sama dengan 3 Alif. Hurufnya ada 8 yaitu: نَـقَـصَ عَـسَـلُـكُـمْ.
2.4       Macam-Macam Dan Syarat-Syarat Qira’at
Dari segi kemashuran:
  1. Qiraah sab’ah (qira’at tujuh)
Kata sab’ah artinya adalah imam-imam qira’at yang tujuh. Mereka itu adalah : Abdullah bin Katsir ad-Dari (w. 120 H), Nafi bin Abdurrahman bin Abu Naim (w. 169 H), Abdullah al-Yashibi (q. 118 H), Abu ‘Amar (w. 154 H), Ya’qub (w. 205 H), Hamzah (w. 188 H), Ashim ibnu Abi al-Najub al-Asadi.[16]
2.      Qiraat Asyrah (qira’at sepuluh)
Yang dimaksud qira’at sepuluh adalah qira’at tujuh yang telah disebutkan di atas ditambah tiga qira’at sebagai berikut : Abu Ja’far. Nama lengkapnya Yazid bin al-Qa’qa al-Makhzumi al-Madani. Ya’qub (117 – 205 H) lengkapnya Ya’qub bin Ishaq bin Yazid bin Abdullah bin Abu Ishaq al-Hadrani, Khallaf bin Hisyam (w. 229 H)
3.      Qira’at Arba’a Asyarh (qira’at empat belas)
Yang dimaksud qira’at empat belas adalah qira’at sepuluh sebagaimana yang telah disebutkan di atas ditambah dengan empat qira’at lagi, yakni : al-Hasan al-Bashri (w. 110 H), Muhammad bin Abdurrahman (w. 23 H), Yahya bin al-Mubarak al-Yazidi and-Nahwi al-Baghdadi (w. 202 H), Abu al-Fajr Muhammad bin Ahmad asy-Syambudz (w. 388 H).
  • Dari segi kualitas
Menurut penelitian al-Jazari, berdasarkan kualitas, qira’at dapat dikelompokkan dalam enam bagian.
  1. Qira’at Mutawatir, yakni yang disampaikan sekelompok orang mulai dari awal sampai akhir sanad, yang tidak mungkin bersepakat untuk berbuat dusta. Umumnya, qira’at yang ada masuk dalam bagian ini. Para ulama Al-Qur’an dan ahli hukum islam telah sepakat bahwa qira’at yang berstatus mutawatir ini adalah qira’at yang sah dan resmi sebagai Al-Qur’an. Qira’at ini sah dibaca di dalam dan diluar shalat. Qira’at ini dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum.
  2. Qira’at Masyhur, yakni qira’at yang memiliki sanad sahih dengan kaidah bahasa arab dan tulisan Mushaf utsmani. Qira’at ini populer dikalangan ahli qira’at dan mereka tidak memandang sebagai kiraat yag salah dan aneh. Menurut Az-Zarqani dan As-Shalih, mutawatir dan masyhur sah bacaannya dan wajib meyakininya serta tidak boleh mengingkari sedikitpun darinya.
  3. Qira’at Ahad, yakni yang memiliki sanad sahih, tetapi menyalahi tulisan Mushaf Utsmani dan kaidah bahasa arab, tidak memiliki kemasyhuran dan tidak dibaca sebagaimana ketentuan yang telah ditetapkan. Qira’at ini tidak sah dibaca sebagai Al-Qur’an dan tidak wajib meyakininya. Misalnya adalah riwayat yang dikeluarkan oleh Al-Hakim dari jalur Ashim al-Jahdani.
  4. Qira’at Syadz, (menyimpang), yakni qira’at yang sanadnya tidak sahih. Qira’at ini tidak dijadikan pegangan dalam bacaan dan bukan termasuk Al-Qur’an.
  5. Qira’at Maudhu’ (palsu), dibangsakan kepada seseorang tanpa dasar. Seperti qira’at al-Khazzani.
  6. Mudraj (sisipan), yaitu adanya sisipan pada bacaan dengan tujuan penafsiran. Misalnya qira’at Abi Waqqash.[17]
Syarat-syarat Qira’at
Untuk menangkal penyelewengan qira’at yang sudah muncul, para ulama membuat persyaratan-persyaratan bagi qira’at yang dapat diterima. Untuk membedakan antara yang benar dan qira’at yang aneh (syazzah), para ulama membuat tiga syarat bagi qira’at yang benar. Pertama, qira’at itu sesuai dengan bahasa arab sekalipun menurut satu jalan. Kedua, qira’at itu sesuai dengan salah satu mushaf-mushaf utsmani sekalipun secara potensial. Ketiga, bahwa sahih sanadnya baik diriwayatkan dari imam qira’at yang tujuh dan yang sepuluh maupun dari imam-imam yang diterima selain mereka. Setiap qiraat yang memenuhi kriteria di atas adalah qiraat yang benar yang tidak boleh ditolak dan harus diterima. Namun bila kurang dari ketiga syarat diatas disebut qiraat yang lemah.[18]


BAB III
PENUTUP
3.1       Kesimpulan
1.      Al-Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, melalui perantara malaikat Jibril dengan jalan mutawatir sebagai petunjuk bagi manusia dan membacanya merupakan ibadah.
2.      Qira’at adalah Suatu mazhab yang dianut oleh seseorang imam qira’at yang berbeda dengan lainnya dengan pengucapan Al-Qur’an Al-Karim serta sepakat riwayat-riwayat dan jalur-jalur dari padanya, baik perbedaan dari pengucapan maupun alam pengucapan  keadaan-keadaannya.
3.      Perbedaan qira’at disebabkan oleh beberapa faktor salah satunya adalah adanya takrir nabi tentang perbedaan cara baca ayat Al-Qur’an di kalangan sahabat, juga berdasarkan hadits-hadits nabi sebagaimana telah dijelaskan di atas.
4.      Berdasarkan segi kualitas, ada enam macam tingkatan qira’at yaitu mutawatir, massyhur, ahad, syaz, maudhu dan mudraj.

DAFTAR PUSTAKA


Achmad Sunarto, Himpunan HaditsQudsi, (tt: Setia Kawan Grafis, 2000)
Ahmad Syadali, Ulum Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Setia, 1997)
Amri, dkk, UlumulQur’an, (Makassar: Membumi Publishing, 2009)
Kamaluddin Marzuki, Ulum al-Qur’an, (Cet. II, Bandung: PT Remaja        Rosdakarya, 1994)
Kamaludin Marzuki, Ulum al-Qur’an, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994)
M. Fuad Abdul Baqi, Mutiara Hadits Sahih Bukhari Muslim, (cet.IV, Jakarta                     Timur: UmmulQura, 2013)
M. Hasbi Ash  Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an/Tafsir,                            (cet. XV, Jakarta: Bulan Bintang, 1994)
M. Quraish Shihab, dkk, Sejarah dan Ulumul Qur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus,    2001)
Muhammad Alifuddin, UlumAl-Qur’an, (tt: Yayasan Sipakarennu Nusantara,        2009)
Rosihon Anwar,UlumulQur’an, (Bandug : Pustaka Setia, 2000)
Subkhi al-Salih, Mabahis fi Ulum al-Qur’an, (Cet.XVII, Baerut: Dar aL-Ilm Li      al-Malayin, 1988)
Al-Zarqani, Muhammad AbdAl-azim, UlumulQur’an Jilid I, (Beirut: Diral-Fikr,     1988)



[1] Subkhi al-Salih, Mabahis fi Ulum al-Qur’an, (Cet.XVII, Baerut: Dar aL-Ilm Li al-Malayin, 1988), h.18
[2] Ibid
[3] Kamaluddin Marzuki, Ulum al-Qur’an, (Cet. II, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1994), h.4
[4] Subkhi al-Salih, op.cit., h. 21
[5] M. Hasbi Ash  Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an/Tafsir, (cet. XV, Jakarta: Bulan Bintang, 1994), h.3
[6]Amri, Marlina Gazali, dkk, UlumulQur’an, (Makassar: Membumi Publishing, 2009), h.59
[7]Al-Zarqani, Muhammad AbdAl-azim, UlumulQur’an Jilid I, (Beirut: Diral-Fikr, 1988), h.412
[8]Rosihon Anwar,UlumulQur’an, (Bandug : Pustaka Setia, 2000), h.147
[9]Ibid
[10]Muhammad Alifuddin, UlumAl-Qur’an, (tt: Yayasan Sipakarennu Nusantara, 2009), h.164
[11]Achmad Sunarto, Himpunan HaditsQudsi, (tt: Setia Kawan Grafis, 2000) h.9
[12]M. Fuad Abdul Baqi, Mutiara Hadits Sahih Bukhari Muslim, (cet.IV, Jakarta Timur, UmmulQura, 2013), h.377 (hadits ke-468)
[13] op. cit., h.168
[14] M. Quraish Shihab, dkk, Sejarah dan Ulumul Qur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001) h.100
[15] Kamaludin Marzuki, Ulum al-Qur’an,( Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), h.110-112
[16] Amri, dkk, op. cit., h.61
[17] Ibid, h.62-64
[18] Ahmad Syadali, Ulum Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Setia, 1997) h.228

Posting Komentar

0 Komentar