DISUSUN OLEH :
BAYU TRI SUSILO
SRI EGA MAWARNI
HASTUTIANTI
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
(STAIN)
KENDARI
TAHUN
AKADEMIK 2012/2013
KATA PENGANTAR
ÉOó¡Î0 «!$# Ç`»uH÷q§9$# ÉOÏm§9$#
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT., kerena
tanpa rida dan kekuatan yang diberikannya makalah ini tidak akan bias
diselesaikan. Salawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada nabi kita
Muhammad SAW., karena atas jasa beliaulah kita dapat menjadi manusia yang bermoral
dan berilmu pengetahuan.
Makalah yang berjudul “MUTLAK,
MIQAYYAD, MUJMAL DAN MUBAYYAN”
ini saya buat dengan menggunakan kajian studi pustaka. Saya menyadari bahwa
dalam makalah ini masih banyak kekurangannya. Kritik dan saran sangat saya
butuhkan untuk menyempurnakan makalah ini.
Semoga apa yang saya sajikan dalam makalah ini dapat
memberikan sumbangsi dalam pencarian informasi di dinia pendidikan di Negeri
tercinta ini, dan tak lupa juga saya ucapkan terima kasih atas masukan dan
sarannya.
Penilis
DAFTAR
ISI
Kata
Pengantar
i
Daftar
Isi
ii
BAB
I. PENDAHULUAN
1
1 Latar Belakang
1
2 Rumusan Masalah
1
3 Tujuan
1
BAB
II. PEMBAHASAN
2
1 Pengertian Mutlak dan Muqayyad
2
2 Kaedah-Kaedah
Mutlak dan Muqayyad
4
3 Pengertian
Mujmal Dan Mubayyan
12
4 Macam-macam
Bayyan
14
BAB
III. PENUTUP
16
3.1 Kesimpulan
16
Daftar
Pustaka
17
BAB
II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian
Mutlak Dan Muqoyyad
A. Mutlak
Kata mutlaq secara sederhana berarti tiada
terbatas.[1]
Dalam bahasa Arab, kataمـطـلـــق berarti
yang bebas, tidak terikat.[2]
Menurut al-Khudhori Biek,[3]
اَلْمُطْلَقُ
مَا دَلَّ عَلىَ فَرْدٍ اَوْأَفْرَادٍشَائِــــعَـةٍ بِدُوْنِ قَـيْــــدٍ
مُسْتَقِــلٍّ لَفْــــــظاً
Artinya:
“Mutlaq
adalah perkataan yang menunjukkan satu atau beberapa objek yang tersebar tanpa
ikatan bebas menurut lafal.”
style="display:block; text-align:center;"
data-ad-format="fluid"
data-ad-layout="in-article"
data-ad-client="ca-pub-3105946583064839"
data-ad-slot="5473721877">
style="display:block; text-align:center;"
data-ad-format="fluid"
data-ad-layout="in-article"
data-ad-client="ca-pub-3105946583064839"
data-ad-slot="5473721877">
Dalam rumusan yang berbeda namun saling berdekatan,
Amir Syarifuddin,[4]
mengutip beberapa definisi para ulama ushul fiqh, sebagaimana berikut:
Al-Amidi memberikan definisi:
هُوَالَّلـفْـظُ
الدَّالُّ عَلىَ مَدْلُـوْلِ شَائِــعٍ فِى جِـنْـسِـــهِ.
artinya:
“Mutlaq ialah lafal yang memberi
petunjuk kepada madlul (yang diberi petunjuk) yang mencakup dalam jenisnya.”
Abu Zuhrah mengajukan definisi:
اَلَّلفْــظُ
اْلمـُــطْلَـقُ هُوَالَّذِى يَـدُلُّ عَلىَ مَوْضُوْعِهِ مِنْ غَيْرِ نَظَـــرٍ
اِلىَ اْلوَاحِـدَةِ اَوِ اْلجَمْــعِ اَوِ اْلوَصْفِ بَلْ يَدُلُّ عَلىَ
اْلمَـاهِــيَةِ مِنْ حَيْثُ هِيَ.
artinya:
“Lafal mutlaq adalah lafal yang memberi petunjuk terhadap maudu-’nya
(sasaran penggunaan lafal) tanpa memandang kepada satu, banyak atau sifatnya,
tetapi memberi petunjuk kepada hakikat sesuatu menurut apa adanya.”
Contoh dari lafal mutlaq adalah dalam firman
Allah swt (QS. Al-mujadilah [58]: 3) yang menjelaskan tentang kifarat bagi seseorang yang telah melakukan
perbuatan zihar terhadap istrinya:
...فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ
يَتَمَاسَّا...
Terjemah:
“…maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri
itu bercampur...”[5]
Kata roqobah (seorang budak) pada ayat tersebut
tidak diikuti oleh kata yang menerangkan jenis budak yang disyaratkan untuk
dimerdekakan sebagai kifarat zihar, sehingga ayat ini berlaku mutlaq.
Oleh karena itu, pengertian ayat ini adalah kewajiban untuk memerdekakan
seorang budak dengan jenis apapun juga, baik yang mukmin ataupun yang kafir
tanpa adanya ikatan.
B. Muqoyyad
Secara sederhana, muqoyyad berarti terikat,[6]
atau yang mengikat, yang membatasi. Secara etimologi, muqoyyad adalah
suatu lafal yang menunjukkan suatu hal, barang atau orang yang tidak tertentu (syai’ah)
tanpa ada ikatan (batasan) yang tersendiri berupa perkataan. Definisi ini
sejalan dengan uraian yang dikemukakan oleh Imam al-Syafi’i seperti dikutip
oleh Muhlish Usman,[7]
muqoyyad adalah lafal yang
menunjukkan satuan-satuan tertentu yang dibatasi oleh batasan yang mengurangi
keseluruhan jangkauannya. Pembatasan tersebut dapat berupa sifat, syarat, dan ghayah.[8]
Sebagai contoh adalah firman Allah swt dalam (QS. al-Nisa’ [4]: 92),
tentang kifarat bagi seseorang yang membunuh tanpa sengaja, yaitu:
فَتَحْرِيرُ رَقَبَــةٍ مُــؤْمِنـــَةٍ...…
artinya:
“…maka (hendaklah si
pembunuh) memerdekakan hamba-sahaya yang mukmin…”
Dalam ayat tersebut, kata roqobah adalah kata yang berlaku muqoyyad
karena ia dibatasi dengan kata mu’minah. Hal ini berarti bahwa tidak
sembarang budak yang dapat dimerdekakan dalam permasalahan kifarat bagi
orang yang membunuh tanpa sengaja ini, tetapi budak itu haruslah budak yang
mukmin.
2.
Kaedah-kaedah
Mutlak Dan Muqoyyad
Imam al-Syafi’i seperti dalam Sapiudin Shidiq,[9]
menjelaskan kaidah-kaidah yang berkaitan dengan mut}laq dan muqoyyad sebagaimana
berikut:
1.
Hukum mutlaq. Lafal mutlaq dapat
digunakan sesuai dengan kemutlakannya. Kaidahnya:
اَلْمُـطْلَقُ
يَبْقَى عَلَى إِطْلَاقِهِ مَالـَـمْ يَقُمْ دَلِــْيلٌ عَلَى تَقْـِـييْدِهِ.
Terjemah:
“Mutlaq itu ditetapkan berdasarkan
kemutlakannya selama belum ada dalil yang membatasinya.”
Contoh: (QS. Al-Nisa’ [4]: 23).
...وَأُمَّهَاتُ
نِسَائِكُمْ...
artinya:
“…dan ibu-ibu dari istri-istrimu…”
Ayat ini mengandung arti mutlaq karena tidak
ada kata yang mengikat atau membatasi kata ibu mertua. Oleh karena itu,
ibu mertua tidak boleh dinikahi, baik istrinya (anak dari ibu mertuanya) itu
sudah dicampurinya atau belum.
2.
Hukum muqoyyad. Lafal muqoyyad tetap
dinyatakan muqoyyad selama belum ada bukti yang me-mutlaq-kan.
Kaidahnya:
اَلْمُـقَــَّيدُ باَقِىٌ عَلَى تَقْيِــيْدِهِ
مَالـَـمْ يَقُمْ دَلِــْيلٌ عَلَى إِطْــــلَاقِهِ.
Artinya:
“Muqoyyad itu ditetapkan berdasarkan
batasannya selama belum ada dalil yang menyatakan kemutlakannya.”
Contoh: (QS. Al-Mujadalah [58]:
3-4):
وَالَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ
ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ
يَتَمَاسَّا ذَلِكُمْ تُوعَظُونَ بِهِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ
مُتَتَابِعَيْنِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا فَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَإِطْعَامُ
سِتِّينَ مِسْكِينًا ذَلِكَ لِتُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتِلْكَ حُدُودُ
اللَّهِ وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ
artinya:
“ (3)
Orang-orang yang menz}ihar isteri mereka, Kemudian mereka hendak menarik
kembali apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang
budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan
kepada kamu, dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (4)
Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), Maka (wajib atasnya) berpuasa dua
bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak Kuasa
(wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya
kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. dan Itulah hukum-hukum Allah, dan bagi
orang kafir ada siksaan yang sangat pedih.”
Ayat tersebut menjelaskan bahwa kifarat bagi
seorang suami yang melakukan zihar terhadap istrinya adalah memerdekakan
budak atau puasa dua bulan berturut-turut atau kalau tidak mampu, maka ia harus
memberi makan sebanyak 60 orang miskin. Karena ayat ini telah dibatasi kemut}laqannya,
maka harus diamalkan hukum muqoyyadnya.
3.
Hukum mut}laq yang sudah dibatasi. Lafal mutlaq
jika telah ditentukan batasannya, maka ia menjadi muqoyyad. Kaidahnya:
اَلْمُـطْلَقُ لاَ يَبْقَى عَلَى إِطْلَاقِهِ إِذَا
يَقُوْمُ دَلِــْيلٌ عَلَى تَقْـِـييْدِهِ.
Terjemah:
“Lafal mutlaq tidak boleh dinyatakan
mut}laq karena telah ada batasan yang membatasinya.”
Contoh: (QS. Al-Nisa’ [4]: 11).
...مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي...
artinya:
“…sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan)
sesudah dibayar hutangnya…”
Kata wasiat pada ayat ini masih bersifat mut}laq dan
tidak ada batasan berapa jumlah wasiat yang harus dapat dikeluarkan. Kemudian
ayat ini dibatasi ketentuannya oleh hadits yang menyatakan bahwa wasiat yang
paling banyak adalah sepertiga dari jumlah harta warisan yang ada. Dengan
demikian, maka hukum mutlaq pada ayat tersebut dibawa kepada yang muqoyyad.
Sebagaimana hadits Nabi Muhammad saw.
فَإِنَّ
رَسُوْلَ اللهِ قَالَ اَلثُّــلُثُ وَالثُّــلُثُ كَبِــــيْرٌ (رواه البخــارى
ومســلم)
Terjemah:
“Wasiat itu
adalah sepertiga dan sepertiga itu sudah banyak” (HR. Bukhari dan Muslim)
4.
Hukum muqoyyad yang dihapuskan batasannya.
Lafal muqoyyad jika dihadapkan pada dalil lain yang menghapus ke-muqoyyadan-nya,
maka ia menjadi mutlaq. Kaidahnya:
اَلْمُـقَــَّيدُ لاَ يَبْقَى عَلَى تَقْيِــيْدِهِ
إِذَا يَقُوْمُ دَلِــْيلٌ عَلَى إِطْــــلَاقِهِ.
Terjemah:
“Muqoyyad tidak akan tetap dikatakan
muqoyyad jika ada dalil lain yang menunjukkan kemutlaqannya.
Contoh: (QS. Al-Nisa’ [4]: 23).
... وَرَبَائِبُكُمُ اللاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ
نِسَائِكُمُ اللاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ
فَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ...
Terjemah:
“…dan anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah
kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu
ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya…”
Ayat tersebut menjelaskan tentang keharaman menikahi
anak tiri. Hal ini disebabkan karena anak tiri itu “dalam pemeliharaan” dan
ibunya “sudah dicampuri”. Keharaman ini telah dibatasi oleh dua hal tersebut,
namun batasan yang kedua tetap dipandang sebagai batasan yang muqoyyad sedang
batasan pertama hanya sekedar pengikut saja, karena lazimnya anak tiri itu
mengikuti ibu atau ayah tirinya. Bilamana ayah tiri belum mencampuri ibunya dan
telah diceraikan, maka anak tiri tersebut menjadi halal untuk dinikahi, karena
batasan muqoyyadnya telah dihapus sehingga menjadi mutlaq
kembali.[10]
Pada
prinsipnya, para ulama bersepakat bahwa hukum dari lafal mutlaq itu
wajib diamalkan kemutlaqannya, selama tidak ada dalil yang
membatasi kemutlaqannya. Begitupun dengan lafal-lafal muqoyyad yang
berlaku kemuqoyyadannya. Namun, pada kasus-kasus tertentu, terdapat
berbagai dalil syara’ dengan lafal yang mutlaq disatu tempat, sedang
ditempat lain menunjukkan muqoyyad. Pada permasalahan seperti ini, Hamid
Hakim dalam Muhlish Usman,[11]
mengatakan bahwa ada empat alternatatif kaidah yang dapat digunakan, yaitu:
1.
Hukum dan sebabnya sama, maka yang mutlaq dibawa
kepada muqoyyad. Kaidahnya:
اَلْمُـطْلَقُ يُحْمَـلُ عَلىَ اَلْمُـقَــَّيدِ
إِذَااتَّفَــقَافِى السَّــبَبِ وَاْلحُـــــكْمِ.
Terjemah:
“Mutlaq itu
dibawa pada muqoyyad jika sebab dan hukumnya sama.”
Contoh: (QS. Al-Maidah’ [5]: 3).
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ
وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ...
Terjemah:
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, dan daging babi…”
Pada ayat ini, kata (الـدم) atau darah adalah lafal mutlaq yang tidak diikat oleh
sifat atau syarat apapun. Namun pada ayat lain, dalam firman Allah swt, (QS.
Al-An’am [6]: 145) disebutkan:
قُلْ لا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا
عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ
لَحْمَ خِنْزِيرٍ
Terjemah:
“Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan
kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali
kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi.”
Dalam ayat ini, kata الدم, atau darah diberi sifat dengan masfuh (mengalir).
Namun, hukum dalam kedua ayat ini adalah sama, yaitu sama-sama “haram”.
Demikian pula sebab yang menimbulkan hukumnya juga sama, yaitu “darah”. Oleh
karena itu dibawalah yang mutlaq pada yang muqoyyad, dalam
artian; hukum yang dalam lafal mutlaq harus dipahami menurut yang
berlaku pada lafal muqoyyad. Dengan demikian, kata “darah” pada lafal mutlaq,
harus diartikan dengan “darah yang mengalir” sebagaimana yang terdapat pada
lafal muqoyyad. Dari kedua ayat tersebut, terlihat jelas bahwa materi
dan hukumnya sama, maka selain darah yang mengalir menjadi halal, misalnya hati
atau limpa.
2.
Berbeda sebabnya namun sama hukumnya. Pada
permasalahan ini, jumhur syafi’iyyah menyatakan bahwa yang mut}laq
dibawa pada yang muqoyyad. Sedangkan golongan Hanafiyyah dan Malikiyyah
mayoritas menetapkan bahwa hukum mut}laq dan muqoyyad masing-masing
tetap pada posisinya. Kaidahnya:
اَلْمُـطْلَقُ يُحْمَـلُ عَلىَ اَلْمُـقَــَّيدِ وَإِنِ
اخْتَـــلَفـَـــافِى السَّــبَبِ.
Terjemah:
“Mutlaq itu
dibawa ke muqoyyad jika sebabnya berbeda.”
Contoh: (QS. Al-Mujadlah [58]: 3)
yang menjelaskan bahwa kifarat zihar adalah “memerdekakan budak” tanpa
ada batasan “mukmin” atau tidak. Sementara pada ayat lain, dijelaskan bahwa
bagi orang yang membunuh dengan tidak sengaja, kifaratnya adalah
memerdekakan budak yang mukmin. Sebagaimana firman Allah: (QS. Al-Nisa’ [4]:
92)
...وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ
مُؤْمِنَةٍ...
Terjemah:
“…dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia
memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman...”
Kedua ayat diatas berisi hukum yang sama, yaitu pembebasan
budak, sedangkan sebabnya berlainan, yang pertama karena zihar sementara
yang lain karena pembunuhan tidak sengaja. Al-Syafi’iyyah mengatakan bahwa
lafal mutlaq pada kifarat zihar itu harus dibawa kepada yang muqoyyad
tanpa memerlukan dalil lain dengan argumentasi bahwa Kalamullah
itu satu zatnya, tidak berbilang. Karena itu, jika Allah telah menentukan
syarat “iman” dalam kifarat pembunuhan tidak disengaja, berarti
ketentuan inipun berlaku pula pada kifarat z}ihar, yaitu membebaskan
budak yang mukmin. Sementara Hanafiyyah dan Malikiyyah mengatakan bahwa kifarat
zihar ialah sembarang budak.[12]
3.
Berbeda hukum namun sama sebabnya, maka mutlaq dibawa
pada muqoyyad. Kaidahnya:
اَلْمُـطْلَقُ لَا يُحْمَـلُ عَلىَ اَلْمُـقَــَّيدِ
إِذَااخْتَـــلَفـَـــا فِى اْلحُـــــكْمِ.
Terjemah:
“Mutlaq itu
tidak dibawa ke muqoyyad jika yang berbeda hanya hukumnya.”
Contoh: kata “tangan” dalam perintah
wudhu dan tayammum. Membasuh tangan dalam perintah wudhu dibatasi sampai dengan
siku, sebagaimana firman Allah swt, (QS. Al-Maidah [5]: 6).
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا
قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى
الْمَرَافِقِ...
Terjemah:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan salat, maka
basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku…”
Dalam perintah tayammum, tidak dijelaskan batasan
membasuh tangan, tetapi berlaku mutlaq. Firman Allah swt, dalam (QS.
Al-Nisa’ [4]: 43).
...فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا
بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ...
Terjemah:
“…maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan
tanganmu…”
Kedua ayat diatas mengandung sebab yang sama yaitu
membasuh tangan, tetapi hukumnya berbeda yaitu membasuh tangan sampai mata siku
dalam wudhu dan hanya menyapu tangan secara mutlaq pada tayammum. Dengan
demikian, harus diamalkan secara masing-masing karena tidak saling membatasi.[13]
4.
Berbeda sebab dan hukumnya, maka mutlaq tidak
dibawa pada muqoyyad. Masing-masing berdiri sendiri. Kaidahnya:
اَلْمُـطْلَقُ لَا يُحْمَـلُ عَلىَ اَلْمُـقَــَّيدِ
إِذَااخْتَـــلَفـَـــافِى السَّــبَبِ وَاْلحُـــــكْمِ.
Terjemah:
“Mutlaq
tidak dibawa ke muqoyyad jika sebab dan hukumnya berbeda.”
Contoh: (QS. Al-Maidah [5]: 6)
tentang perintah wudhu. Pada ayat tersebut kata “tangan” disebutkan dengan
batasan yaitu sampai siku. Sementara pada ayat lain yang menjelaskan tentang
hukuman potong tangan bagi pencuri yang berlaku mutlaq tanpa menyebutkan
batasan. Firman Allah swt, dalam (QS. Al-Maidah [5]: 38)
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا
أَيْدِيَهُمَا...
Terjemah:
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan
keduanya …”
Kedua ayat diatas memiliki sebab dan hukum yang
berbeda. Ayat pertama menyebutkan keharusan mencuci tangan secara muqoyyad sampai
siku dalam masalah wudhu untuk melakukan shalat. Sementara ayat kedua
menyebutkan keharusan memotong tangan secara mutlaq dalam sanksi hukum
terhadap pencuri. Dalam hal ini, ulama bersepakat bahwa kedua ayat ini berlaku
sendiri-sendiri, lafal yang mutlaq tetap pada kemutlaqannya, sementara
yang muqoyyad, tetap pada kemuqoyadannya.[14]
3.
Pengertian
Mujmal Dan Mbayyan
A. Mujmal
Secara bahasa berarti samar-samar dan beragam/majemuk. Secara istilah
berarti: lafadz yang maknanya tergantung pada lainnya, baik dalam menentukan
salah satu maknanya atau menjelaskan tatacaranya, atau menjelaskan ukurannya.
1.
Contoh: lafadz yang masih memerlukan lainnya
untuk menentukan maknanya:
kata ” rapat ” dalam bahasa Indonesia misalnya memiliki dua makna:
perkumpulan dan tidak ada celah. Sedangkan dalam al Qur’an misalnya surat al
Baqarah: 228
وَالْمُطَلَّقَاتُ
يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ …….﴿البقرة: ٢٢٨﴾
kata ” قروء ” dalam ayat ini bisa berarti : suci atau haidh. Sehingga
untuk menentukan maknanya membutuhkan dalill lain.
2.
contoh: lafadz yang membutuhkan lainnya dalam
menjelaskan tatacaranya.
Surat An
Nur: 56
وَأَقِيمُوا
الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ لَعَلَّكُمْ
تُرْحَمُونَ ﴿النور: ٥٦﴾
Kata “ mendirikan shalat” dalam ayat di atas masih mujmal/belum jelas
karena tidak diketahui tatacaranya, maka butuh dalil lainnya untuk memahami
tatacaranya. Begit
pula ayat- ayat haji dan puasa
3.
contoh lafadz yang membutuhkan lainnya dalam menjelaskan
ukurannya.
Surat an nur : 56 di atas. Kata ” menunaikan zakat ” dalam ayat di atas
masih mujmal karena belum diketahui ukurannya sehingga untuk memahaminya
masih diperlukan dalil lainnya.[15]
B. Mubayyan
Mubayyan secara bahasa (etimologi) : (المظهر والموضح)
yang ditampakkan dan yang dijelaskan. Sedangkan secara terminologi Mubayyan
adalah seperti yang didefinisikan oleh al-Asnawi sebagai berikut :
“Mubayyan adalah lafaz yang
jelas (maknanya) dengan sendirinya atau dengan
lafaz lainya”.
Ada yang mendifinisikan Mubayyan sebagai berikut:
ما يفهم المراد منه، إما بأصل الوضع
أو بعد التبيين
“Apa yang dapat difahami maksudnya, baik dengan
asal peletakannya atau setelah adanya penjelasan.”
Contoh yang dapat difahami maksudnya dengan asal
peletakannya : lafadz langit (سماء), bumi (أرض), gunung (جبل), adil (عدل),
dholim (ظلم), jujur (صدق). Maka kata-kata ini dan yang semisalnya dapat
difahami dengan asal peletakannya, dan tidak membutuhkan dalil yang lain dalam
menjelaskan maknanya.
Contoh yang dapat difahami maksudnya setelah adanya
penjelasan :
Firman Alloh ta’ala :
Firman Alloh ta’ala :
اقيمو الصلاة وَآتُوا الزَّكَاةَ
“Dan dirikanlah sholat dan tunaikan zakat” (Al-Baqoroh
: 43)
Maka mendirikan sholat dan
menunaikan zakat, keduanya adalah mujmal, tetapi pembuat
syari’at (Allah ta’ala) telah menjelaskannya,
maka lafadz keduanya menjadi jelas setelah adanya penjelasan.
Dalam hubungannya dengan Mubayyan , maka dapat kita
pahami ada tiga hal disini. Pertama adanya lafaz yang mujmal yang memerlukan
penjelasan atau disebut Mubayan (yang dijelaskan). Kedua ada lafaz lain yang
menjelaskan lafaz yang Mujmal tadi atau disebut Mubayyin (yang menjelaskan. Dan
yang ketiga adanya penjelasana atau disebut Bayan.
C. Macam-Macam Bayyan ( Penjelasan )
Dalam pembahasan selanjutnya, para Ulama Ushul membuat
kategori daripada penjelasan atau Bayan tersebut. Ulama Syafiiyah membagi bayan
kepada 7
macam sebagai berikut :
macam sebagai berikut :
1.
Penjelasan dengan perkataan ,
contohnya, Allah SWT menjelaskan lafaz سبعة ( tujuh )
pada surat al-Baqarah ayat 196, tentang jumlah hari puasa bagi yang tidak mampu
membayar dam (hadyu) pada haji Tamattu’. Dalam bahasa Arab lafaz tujuh sering
ditujukan kepada arti ‘banyak’ yang bisa lebih dari tujuh. Untuk menjelaskan
‘tujuh’ itu betul-betul tujuh maka Allah SWT mengiringi dengan firman-Nya “itu
sepuluh hari yang sempurna”.
2.
Penjelasan dengan mafhum perkataan,
contohnya, firman Allah SWT dalam surat al-Isra’ ayat
23, tentang larangan mengatakan اف”ah” kepada kedua orang tua. Mafhum dari ayat
tersebut adalah melarang seseorang anak menyakiti orang tuanya, seperti memukul
dan lain-lain, karena mengucapkan “ah” saja tidak boleh, apalagi memukul.
3.
Penjelasan dengan perbuatan,
contoh. Rasulullah SAW menjelaskan perintah mendirikan
shalat, dalam ayat al-Quran, lalu Rasulullah SAW mencontohkan cara melakukan
shalat tersebut.
4.
Penjelasan dengan Iqrar “pengakuan”
contohnya, Rasulullah melihat Qayis shalat dua raka’at
sesudah shalat Subuh, maka Rasulullah bertanya kepada Qayis, lalu Qayis
menjawab dua raka’at itu adalah shalat sunat fajar. Rasulullah tidak melarang.
Ini menunjukkan dibolehkan shalat sunat sesudah shalat Subuh.
5.
Penjelasan dengan Isyarat,
contohnya penjelasan Rasulullah SAW tentang jumlah
hari dalam satu bulan. Beliau mengangkat kesepuluh jarinya tiga kali, yakni 30
hari. Kemudian mengulanginya sambil membenamkan ibu jarinya pada kali yang
terakhir. Maksdunya bahwa bulan itu kadang-kadang 30 hari atau kadang-kadang 29
hari.
6.
Penjelasan dengan tulisan,
contohnya Rasulullah SAW menyuruh juru tulis beliau
menuliskan hukum-hukum mengenai pembagian harta warisan dan lain-lain.
7.
Penjelasan dengan qiyas,
contohnya Rasulullah SAW menjawab seorang penanya
melakukan haji untuk ibunya yang sudah meninggal. Rasullullah bertanya,
‘bagaimana kalau ibumu punya hutang, apa kamu bisa membayarnya?. Hadits
tersebut menqiyaskan mengganti haji orang tua dengan membayar hutangnya.[16]
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
1.
Kata mutlaq secara sederhana berarti tiada
terbatas. Dalam bahasa Arab, kataمـطـلـــق berarti
yang bebas, tidak terikat. Secara sederhana, muqoyyad berarti terikat,
atau yang mengikat, yang membatasi. Secara etimologi, muqoyyad adalah
suatu lafal yang menunjukkan suatu hal, barang atau orang yang tidak tertentu (syai’ah)
tanpa ada ikatan (batasan) yang tersendiri berupa perkataan.
2.
Mujmal Secara bahasa berarti samar-samar dan
beragam/majemuk. Secara istilah berarti: lafadz yang maknanya tergantung pada
lainnya, baik dalam menentukan salah satu maknanya atau menjelaskan
tatacaranya, atau menjelaskan ukurannya. Mubayyan secara bahasa (etimologi) : (المظهر
والموضح) yang ditampakkan dan yang dijelaskan.
DAFTAR
PUSTAKA
Tim Redaksi Bahasa
Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa, 2008
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia. Surabaya:
Pustaka Progressif, 1997
Syekh Muhammad
Al-Khudhori Biek, Ushul Fiqih, Pekalongan:
Raja Murah,1982
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana, 2009
Departemen Agama RI, Al-Qur’an
dan terjemahan, Jakarta: CV. Naladana, 2004
Satria Effendi M. Zein,
Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana, 2008
Usman, Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyyah, Jakarta:
PT. RajaGrafindo Persada, 1996.
Sapiuddin Shidiq, Ushul
Fiqh, Jakarta: Kencana, 2011
Shidiq, Ushul Fiqh,
Jakarta: Kencana, 2011.
Hanafie, Ushul Fiqh, Cet. VII. Jakarta: Widjaya,
1980
http://zulfa4wliya.wordpress.com/2009/05/06/mujmal-dan-mubayyan/
Prof.DR.Abdul Wahhab
Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, tahun 1998
[1]
Tim Redaksi Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta:
Pusat Bahasa, 2008), hal. 990.
[2]
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir:
Kamus Arab-Indonesia. (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), 862.
[3]
Syekh Muhammad Al-Khudhori Biek, Ushul
Fiqih, (Pekalongan: Raja Murah,1982), 239.
[4]
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana, 2009),
121-122.
[5]
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahan, 791.
[6]
Satria Effendi M. Zein, Ushul Fiqh (Jakarta:
Kencana, 2008), 206.
[7]
Usman, Kaidah-kaidah Ushuliyah dan
Fiqhiyyah, 57.
[8]
Sapiuddin Shidiq, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana, 2011), 187
[9]
Shidiq, Ushul Fiqh, 186-192
[10]
Shidiq, Ushul Fiqh, 189.
[11]
Usman, Kaidah-kaidah Ushuliyah,
59-61.
[12]
Hanafie, Ushul Fiqh, 77.
[13]
Shidiq, Ushul Fiqh, 191.
[14]
Syarifuddin, Ushul Fiqh, 128.
[15]
http://zulfa4wliya.wordpress.com/2009/05/06/mujmal-dan-mubayyan/
[16]
Prof.DR.Abdul
Wahhab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,
tahun 1998
0 Komentar
Berkomentarlah dengan bijak. Gunakan bahasa yang baik.