Update Terbaru

6/recent/ticker-posts

Aliran-Aliran Dalam Pendidikan Islam

oleh: Bayu tri Susilo
BAB II
PEMBAHASAN
1.1              Pandangan Filsafat Pendidikan Islam
FiIlsafat Pendidikan Islam, meskipun sedikit banyak dipengaruhi oleh aliran-aliran filsafat yunani, namun bukan berarti bahwa Filsafat Pendidikan Islam mengadopsi pemikiran-pemikirannya, karena Filsafat Pendidikan Islam memiliki konsep tersendiri dalam memandang kehidupan, termasuk dalam bidang pendidikan yang bersumber pada “wahyu ilahi”. Pandangan-pandangan tersebut penulis batasi pada beberapa pandangan berikut:
1.      Prinsip Keseimbangan.
Dalam Filsafat Pendidikan Islam, pendidikan seyogyanya mampu mengarahkan manusia pada kehidupan yang seimbang, baik keseimbangan antara roh dan jasad, keseimbangan antara materil dan spiritual, keseimbangan antara individu dan masyarakat, serta keseimbangan duniawi dan ukhrawi,[1] tidak seperti Filsafat Idealisme yang mengutamakan kemutlakan roh dan mengabaikan hal-hal yang bersifat materi (fisik), tidak juga seperti Filsafat Realisme yang cenderung lebih menekankan pada aspek fisik dalam proses pendidikan, tidak juga aliran Filsafat Sosialisme yang mengakui kemutlakan materi, mengabaikan dan melupakan faktor rohani pada diri seseorang dan manjadikan manusia sebagai materialis yang mengingkari nilai-nilai rohani.
Namun meskipun demikian, dalam beberapa aspek Filsafat Pendidikan memiliki prinsip-prinsip yang serupa dengan prinsip idealism, terutama idealism spiritualistis. Hal ini disebabkan, karena idealism mengakui adanya zat tertinggi yang menciptakan realitas alam semesta serta menggerakkan hukum-hukum-Nya, termasuk sanksi-sanksinya. Yang membedakan adalah sumber sanksi dan hukum antara keduanya.
2.      Nilai dan Sumber yang mendasari
Dalam Filsafat Pendidikan Islam, meskipun memiliki kemiripan bahkan kesamaan dalam aspek-aspek tertentu dengan aliran-alliran lain dalam filsafat pendidikan, namun nilai dan sumber yang mendasarinya tentulah berbeda. Seperti kesamaan pandangan dengan aliran Perennialisme dalam hal pengakuan adanya potensi dasar yang dimiliki manusia sejak lahir yang dapat dikembangkan melalui proses pendidikan. Perbedaannya adalah terletak pada nilai-nilai yang mendasarinya. Islam menghendaki agar perkembangan pribadi manusia melalui proses pendidikan itu dijiwai oleh nilai-nilai ketuhanan, yang sifatnya absolute sedangkan Perennialisme dijiwai oleh nilai-nilai yang berkembang dalam sejarah kemanusiaan yang kebenarannya tidak seabsolut nilai-nilai lahiriah (kebutuhan).
Demikian juga kesamaan dengan aliran Filsafat Progresivisme yang menegaskan bahwa masyarakat itu bersifat dinamis sesuai dengan perkembangan ilmu, oleh sebab itu kita harus terbuka dalam menghadapi permasalahan serta mau menerima kritikan demi kesempurnaan. Akan tetapi dalam aliran progresivisme nilai-nilai yang dijadikan ukuran bukan nilai yang absolute seperti nilai kewahyuan yang menjadi syarat dalam pendidikan Islam, melainkan nilai yang relative. Yaitu nilai-nilai baik dan buruk dikaitkan dengan pertimbangan kultur masyarakat yang sudah barang tentu kebenarannya tergantung pada tempat dan waktu, sedangkan dalam pendidikan Islam nilai tersebut bersifat mutlak.
3.      Faham Kebebasan
Dalam Filsafat Pendidikan Islam, kebebasan yang dimiliki manusia adalah kebebasan yang bertanggung jawab, atau kebebasan yang tetap berada pada koridor ilahi dan dipimpin oleh nilai-nilai agama,[2] tidak seperti aliran filsafat eksistensialisme yang menekankan agar masing-masing individu diberi kebebasan mengembangkan potensinya secara maskimal, tanpa ada batas (mutlak), tidak juga seperti aliran filsafat pragmatism yang menganggap baik dan benar terhadap semua jalan (cara) yang mengantarkan pada kebermanfaatan.
Bagaimanapun juga manusia adalah makhluk yang memiliki keterbatasan. Dalam hal ini Filsafat Pendidikan Islam memandang manusia (peserta didik) sebagai makhluk yang memiliki kebebasan dan potensi untuk berkembang. Untuk itu, kebebasan manusia tersebut hendaknya senantiasa diarahkan kepada kebaikan, yaitu kebebasan yang tetap menempatkan manusia pada posisi mulia, bukan sebaliknya.
Manusia juga tidak bisa bebas melakukan segala cara untuk mencapai kebermanfaatan. Karena pendekatan yang demikian merupakan suatu pendekatan yang berbahaya dan bisa menyalahi nilai-nilai ilahiah. Akibatnya, manusia akan banyak mengorbankankeimanan yang ada padanya demi sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupannya. Sementara menurut Islam, tidak semua yang bermanfaat tersebut baik dan sesuai dengan nilai-nilai agama yang dapat mengantarkan manusia mencapai kebahagiaan yang tertinggi dari kehidupan.
4.      Pandangan Hidup
Dalam Filsafat Pendidikan Islam, semua aktivitasnya termasuk di dalamnya aktivitas dalam bidang pendidikan haruslah didasari oleh tugas pokok dan fungsi penciptaannya di dunia ini yaitu menjadi khalifah dan beribadah kepada Allah, bukan mengabdi kepada Negara atau partai seperti sosialisme dan komunisme, tidak juga mengabdi kepada kepentingan seperti pragmatisme, yang intinya tidak mengabdi kepada selain Allah.[3]
1.2              Aliran-aliran Dalam Pendidikan Islam
1.      Aliran Agamis Konservatif (Al-Muhafidz)
Tokoh-tokoh aliran ini adalah al-Ghazali, Nasiruddin al-Thusi, Ibnu Jama’ah, Sahnun, Ibnu Hajar al-Haitami, dan al-Qabisi.
Aliran al-Muhafidz cenderung bersikap murni keagamaan. Aliran ini memaknai ilmu dengan pengertian sempit. Menurut al-Thusi, ilmu yang utama hanyalah ilmu-ilmu yang dibutuhkan saat sekarang, yang jelas akan membawa manfaat di akhirat kelak.
Menurut Dra. Hj. Hasniyati Gani Ali M.Pd dalam bukunya ilmu pendidikan Islam mengatakan bahwa, teori aliran ini lebih menfokuskan pendidikan pada aspek keagamaan sebab mereka memaknai ilmu hanya secara sempit yaitu ilmu yang harus dipelajari setiap individu adalah ilmu yang dibutuhkan pada saat ia hidup di dunia yag hanya bermanfaat kelak di akhirat.[4] Menurut aliran ini ilmu diklasifikasikan menjadi: pertanma, ilmu tentang cara melakukan kewajiban-kewajiban agama. Kedua, ilmu yang bersifat fardu kifayah.
Al-Ghazali mengklasifikasikan ilmu menjadi:
Berdasarkan pembidangannya, ilmu dibagi menjadi dua bidang:
1)      Ilmu syar’iyyah, yaitu semua ilmu yang berasal dari para Nabi, terdiri atas:
a.       Ilmu ushul (ilmu pokok). Contoh: ilmu al-qur’an, sunah nabi, pendapat-pendapat sahabat dan ijma.
b.      Ilmu furu’ (cabang). Contoh: fiqh dan akhlak.
c.       Ilmu pengantar (mukaddimah). Contoh: ilmu bahasa dan gramatika.
d.      Ilmu pelengkap (mutammimah).
2)      Ilmu ghoiru syar’iyyah, yaitu semua ilmu yang berasal dari ijtihad ulama’ atau intelektual muslim, terdiri atas:
a.       Ilmu terpuji. Misalnya: ilmu kedokteran, ilmu berhitung dan ilmu pustaka.
b.      Ilmu yang diperbolehkan (tak merugikan). Misalnya: kebudayaan, sastra, sejarah, puisi.
c.       Ilmu yang tercela (merugikan). Misalnya: ilmu tenung, sihir dan bagian-bagian tertentu dari filsafat.
Berdasarkan status hukum mempelajarinya, dapat digolongkan menjadi:
1)      Ilmu yang fardlu ‘ain, yakni ilmu yang wajib dipelajari oleh setiap individu muslim. Contoh: ilmu tentang tata cara shalat, dan puasa. Kemudian, ilmu yang fardlu ‘ain ini, oleh al-Ghazali, dibagi menjadi dua yaitu: Ilmu Mu’amalah dan ilmu Mukasyafah.
2)      Ilmu yang fardlu kifayah, yakni ilmu yang bila sebagian umat Islam telah mempelajarinya, maka yang lain tidak tertuntut kewajiban mempelajarinya. Contoh: ilmu kedokteran, ilmu hitung dan perdagangan.
Al-Ghazali menegaskan bahwa ilmu-ilmu keagamaan hanya dapat diperoleh dengan kesempurnaan rasio dan kejernihan akal budi. Karena, hanya dengan rasiolah manusia mampu menerima amanat dari Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya. Pemikiran al-Ghazali ini sejalan dengan aliran Mu’tazilah yang berpendapat bahwa rasio mampu menetapkan baik buruknya sesuatu.
Pola umum pemikiran al-Ghazali dalam pendidikannya antara lain:
1)      Kegiatan menuntut ilmu tiada lain berorientasi pada pencapaian ridha Allah.
2)      Teori ilmu ilhami sebagai landasan teori pendidikannya, dan diperkuat dengan sepuluh kode etik peserta didik.
3)      Tujuan agamawi merupakan tujuan puncak kegiatan menuntut ilmu.
4)      Pembatasan term al-‘ilm hanya pada ilmu tentang Allah.
Sedangkan menurut Ibnu Jama’ah, para penuntut ilmu harus mengawali belajarnya dengan al-Quran, menghafal dan menafsirkannya.  Kemudian, ilmu-ilmu yang perlu diprioritaskan adalah Ulumul Quran, al-Hadits, Ulumul Hadits, Ushul, Nahwu dan Sharaf.[5]
Dapat ditarik kesimpulan bahwa pemikiran utama aliran konservatif antara lain:
1)      Ilmu adalah ilmu al-hal, yaitu ilmu yang dibutuhkan saat sekarang yang bisa membawa manfaat di akhirat.
2)      Ilmu-ilmu selain ilmu keagamaan adalah sia-sia.
3)      Ilmu hanya bisa diperoleh melalui rasio.

2.      Aliran Religius-Rasional (Al-Diniy Al-Aqlany)
Tokoh-tokoh aliran ini adalah Ikhwan al-Shafa, al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu Miskawaih. Aliran ini dijuluki “pemburu” hikmah Yunani di belahan dunia Timur, dikarenakan pergumulan intensifnya dengan rasionalitas Yunani. Aliran ini merumuskan teorinya yang bertitik tolak dari pemikiran mereka tentang konsep dasar manusia dengan segala sesuatu yang terkait denga jiwa (diri) beserta semua potensinya.[6]
Menurut Ikhwan al-Shafa, yang dimaksud dengan ilmu adalah gambaran tentang sesuatu yang diketahui pada benak (jiwa) orang yang mengetahui. Proses pengajaran adalah usaha transformatif terhadap kesiapan ajar agar benar-benar menjadi riil, atau dengan kata lain, upaya transformatif terhadap jiwa pelajar yang semula berilmu (mengetahui) secara potensial, agar menjadi berilmu (mengetahui) secara riil-aktual. Dengan demikian, inti proses pendidikan adalah pada kiat transformasi potensi-potensi manusia agar menjadi kemampuan “psikomotorik”.
Ikhwan berpendapat bahwa akal sempurna mengemanasikan keutamaan-keutamaan pada jiwa dan dengan emanasi ini eternalitas akal menjadi penyebab keberadaan jiwa. Kesempurnaan akal menjadi penyebab keabadian jiwa dan supremasi akal menjadi penyebab kesempurnaan jiwa. Pandangan dualisme jiwa-akal Ikhwan tersebut merupakan bukti dari pengaruh pemikiran Plato.
Menurut Ikhwan, jiwa berada pada posisi tengah antara dunia fisik-materiil dan dunia akal. Hal inilah yang menjadikan pengetahuan manusia menempuh laju “linier-progresif” melalui tiga cara, yaitu:
1)      Dengan jalan indera, jiwa dapat mengetahui sesuatu yang lebih rendah dari substansi dirinya.
2)      Dengan jalan burhan (penalaran-pembuktian logis), jiwa bisa mengetahui sesuatu yang lebih tinggi darinya.
3)      Dengan perenungan rasional, jiwa dapat mengetahui substansi dirinya.
            Ikhwan tidak sependapat dengan ide Plato yang menganggap bahwa belajar tiada lain hanyalah proses mengingat ulang. Ikhwan menganggap bahwa semua pengetahuan berpangkal pada cerapan inderawiah. Segala sesuatu yang tidak dijangkau oleh indera, tidak dapat diimajinasikan, segala sesuatu yang tidak bisa diimajinasikan, maka tidak bisa dirasiokan.
Kalangan Ikhwan sangat memberi tempat terhadap ragam disiplin ilmu yang berkembang dan bermanfaat bagi kemajuan hidup manusia. Implikasinya adalah konsep ilmu berpangkal pada “kesedia-kalaan” ilmu tanpa pembatasan.
Ikhwan membagi ragam disiplin ilmu sebagai berikut:
1)      Ilmu-ilmu Syar’iyah (keagamaan), yaitu:
a)      Ilmu Tanzil (ilmu Quran-Hadits)
b)      Ilmu Ta’wil (ilmu penafsiran)
c)      Ilmu Akhbar (ilmu penyampaian informasi keagamaan)
d)     Ilmu pengkajian sunnah dan hokum.
e)      Ilmu ceramah keagamaan, ilmu kezuhudan dan ta’bir mimpi.
2)      Ilmu-ilmu Filsafat
a)      Riyadliyyat (ilmu-ilmu eksak)
b)      Mantiqiyyat (retorika-logika)
c)      Thabi’iyyat (ilmu kealaman atau fisika)
d)     Teologi (ketuhanan).
3)      Ilmu-ilmu Riyadliyyat (matematik)
a)      Ilmu kitabah-qira’at (baca-tulis)
b)      Ilmu Nahwu (bahasa dan gramatika)
c)      Ilmu hitung dan transaksi
d)     Ilmu syi’ir dan prosa
e)      Ilmu peramalan
f)       Ilmu tenun dan sihir
g)      Ilmu profesi
h)      Ilmu jual-beli
i)        Ilmu sejarah
            Tokoh lain dari aliran ini adalah Al-Farabi. Ia menganalisis manusia secara “fungsional-organik”. Ia membagi potensi manusia menjadi enam tingkatan, yaitu:
1)      Potensi al-ghadziyyah  (organ-organ tubuh yang berguna untuk mencerna makanan). Potensi ini timbul setelah manusia lahir.
2)      Potensi perasa, yaitu bias merasakan hawa dingin atau panas, dan lain-lain.
3)      Merespons dan bereaksi.
4)      Mempersepsi dan menghafal stimuli-stimuli inderawiah yang telah diterimanya.
5)      Potensi mutakhayyilah (imajinasi), yaitu mengasosiasikan dan memilah-milah unsur-unsur stimuli dengan aneka model.
6)      Potensi muthlaqah (mengabstraksi), yaitu menalar, mengidentifikasi antara yang indah dan yang jelek, memungkinkan berkreasi dan berinovasi.
Al-Farabi menghendaki agar operasionalisasi pendidikan seiring dengan tahap-tahap perkembangan fungsi organ tubuh dan kecerdasan manusia.
Dari pemikiran kedua tokoh di atas, teori utama aliran Religius-Rasional ini antara lain:
1)      Pengetahuan adalah muktasabah, yakni hasil perolehan dari aktivitas belajar.
2)      Modal utama ilmu adalah indera.
3)      Lingkup kajian meliputi pengkajian dan pemikiran seluruh realitas yang ada.
4)      Ilmu pengetahuan adalah hal yang begitu bernilai secara moral dan sosial.
5)      Semua ragam ilmu pengetahuan adalah penting.
3.      Aliran Pragmatis (Al-Dzara’iy)
            Tokoh aliran Pragmatis adalah Ibnu Khaldun. Sedangkan tokoh Pragmatisme Barat yaitu John Dewey. Bila filsafat pendidikan Islam berkiblat pada pandangan pragmatisme John Dewey, tujuan yang ingin dicapai dalam pendidikan adalah segala sesuatu yang sifatnya nyata, bukan hal yang di luar jangkauan pancaindera.[7]
            Menurut Ibnu Khaldun, ilmu pengetahuan dan pembelajaran adalah tabi’i (pembawaan) manusia karena adanya kesanggupan berfikir. Pendidikan bukan hanya bertujuan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan akan tetapi juga untuk mendapatkan keahlian duniawi dan ukhrowi, keduanya harus memberikan keuntungan, karena baginya pendidikan adalah jalan untuk memperoleh rizki.
            Dia menglasifikasikan ilmu pengetahuan berdasarkan tujuan fungsionalnya, yaitu:
a)      Ilmu-ilmu yang bernilai instrinsik. Misal: ilmu-ilmu keagamaan, Ontologi dan Teologi.
b)      Ilmu-ilmu yang bernilai ekstrinsik-instrumental bagi ilmu instrinsik. Misal: kebahasa-Araban bagi ilmu syar’iy, dan logika bagi ilmu filsafat.
            Berdasarkan sumbernya, ilmu dapat dibagi menjadi dua yaitu:
a)      Ilmu ‘aqliyah (intelektual) yaitu ilmu yang diperoleh manusia dari olah pikir rasio, yakni ilmu Mantiq (logika), ilmu alam, Teologi dan ilmu Matematik.
b)      Ilmu naqliyah yaitu ilmu yang diperoleh manusia dari hasil transmisi dari orang terdahulu, yakni ilmu Hadits, ilmu Fiqh, ilmu kebahasa-Araban, dan lain-lain.
Menurut Ibnu Khaldun, daya pikir manusia merupakan “karya-cipta” khusus yang telah didesain Tuhan. Manusia pada dasarnya adalah jahil (tidak tahu), ia menjadi ‘alim (tahu) karena manusia belajar.
Ibn Khaldun menjadikan kealamiahan sebagai salah satu sumber pengetahuan rasional. Ia membebaskan rasio dari dari kungkungan naql (dogma, tradisi) dan menjadikannya sebagai sumber otonom pengetahuan. Ia menyatakan bahwa ilmu pendidikan bukanlah suatu aktivitas yang semata-mata bersifat pemikiran dan perenungan yang jauh dari aspek-aspek pragmatis di dalam kehidupan, akan tetapi ilmu dan pendidikan merupakan gejala konklusif yang lahir dari terbentuknya masyarakat dan perkembangannya dalam tahapan kebudayaan. Menurutnya bahwa ilmu dan pendidikan tidak lain merupakan gejala sosial yang menjadi ciri khas jenis insani.
Dari pemikiran Ibnu Khaldun di atas, maka ide pokok pemikiran aliran Pragmatis antara lain:
1)      Manusia pada dasarnya tidak tahu, namun ia menjadi tahu karena proses belajar.
2)      Akal merupakan sumber otonom ilmu pengetahuan.
3)      Keseimbangan antara pengetahuan duniawi dan ukhrawi.


[1] Lihat al-Qur’an surah al-Qoshosh [28] : 77
[2] Lihat al-Qur’an surah al-Nisaa [4] : 1
[3] http:///rumahuus.blogspot.com/aliran-aliran-dalam-filsafat-pendidikan.html
[4] Hasniyati Gani Ali, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Quantum Teaching, 2008, hal 50
[5] sarjanaspdi.blogspot.com/aliran-aliran-filsafat-islam.html
[6] Muhammad Jawwad Ridla, Tiga Ailiran Utama Teori Pendidikan Islam, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2002, hal 79
[7] sarjanaspdi.blogspot.com/aliran-aliran-filsafat-islam.html



Posting Komentar

0 Komentar